Sabtu, November 16, 2024

Tingkatkan literasi digital, ayo jadi pejuang anti kabar bohong

Must read

Di masa pandemi Covid-19 ini sebaran hoaks atau informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya alias kabar bohong masih marak mewarnai ruang digital berbagai platform.

Publik yang tak paham pun tak sedikit yang terkecoh, bahkan mengikuti anjuran berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan tidak memiliki landasan faktual namun disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta itu.

”Hoaks yang beredar saat pandemi ini beragam, terutama terkait bantuan pemerintah dalam bentuk apa pun,” kata praktisi dan internet marketing Eko Sugiono saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Menjadi Pejuang Anti Kabar Bohong” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Sabtu (14/8/2021).

Yang terbaru, Eko mencontohkan, satu kasus hoaks yang menginformasikan subsidi pulsa dan kuota internet untuk pembelajaran jarak jauh dari Kemendikbud yang beredar di masyarakat baru-baru ini.

Informasi tersebut sempat heboh beredar lewat aplikasi percakapan WhatsApp masyarakat yang isinya menyebut ”Program kuota belajar pulsa 250rb dan kuota 75GB untuk dosen, guru, siswa, mahasiswa selama pembelajaran jarak jauh periode juni! Batas akhir 2021-9-1”.

Eko juga mencontohkan hoaks yang lebih parah yang beredar awal Agustus 2021 ini di media sosial yang menyajikan sebuah narasi bahwa varian virus Covid-19 sudah direncanakan dan ada jadwal penyebarannya. Dalam postingan itu menyebutkan, jadwal varian Delta hingga Omega disebar mulai Juni 2021 hingga Februari 2022.

“Kebenaran dan keaslian berita sangat penting diteliti karena berita palsu dapat memberi kerugian serius bagi masyarakat. Hoaks itu juga bisa mencemarkan nama baik, alat adu domba untuk memecah persatuan, bahkan memicu terjadinya peperangan,” tegas Eko.

Untuk mengantisipasi agar tak menjadi korban hoaks, Eko mengatakan penting mengamankan diri dan sesama di ruang digital ini. Eko mengajak masyarakat pengguna digital bersama-sama mulai belajar mengenali ciri ciri berita hoaks itu.

“Berita hoaks itu biasanya dibuat untuk menciptakan kecemasan, kebencian, permusuhan dengan sumber tak jelas dan tidak ada yang bisa dimintai tanggung jawab atau klarifikasinya,” kata Eko.

Tak hanya itu, berita hoaks juga biasanya berisi pesan sepihak, menyerang, dan tidak netral atau berat sebelah serta mencatut nama tokoh berpengaruh atau menggunakan nama mirip media terkenal.

Berita hoaks kadang pula memanfaatkan fanatisme atas nama ideologi, agama, suara rakyat lewat judul dan pengantarnya provokatif dan tidak cocok dengan isinya. Berita bohong itu juga memberi penjulukan serta dari pembuat minta supaya di-share atau diviralkan seolah didukung argumen dan data yang sangat teknis agar terlihat ilmiah dan dipercaya.

“Artikel yang ditulis biasanya menyembunyikan fakta dan data serta memelintir pernyataan narasumbernya, disertai manipulasi foto,” kata Eko.

Narasumber lain webinar itu, Ahmad Khoirul Anwar selaku dosen Universitas Sahid Surakarta mengatakan saat mendapati berita hoaks masyarakat bisa berpartisipasi untuk melaporkannya agar berita itu tak kian menyesatkan dan merugikan banyak penerimanya.

“Berbagai platform digital, juga pemerintah, menyediakan kanal untuk melaporkan berita berita hoaks itu agar segera dilakukan langkah lanjut,” kata Anwar.

Anwar menyebut sedikitnya ada platform seperti Facebook, Google, turnbackhoac, cekfakta dan Kominfo yang menyediakan tempat aduan berita hoaks itu.

Webinar yang dipandu Zacky Ahmad sebagai moderator ini juga menghadirkan narasumber lain yakni Khoironi Hadi (Kepala MAN Temanggung) dan Hidayatun (Kepala MTsN Semarang) serta Bella Ashari selaku key opinion leader.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article