Minggu, November 17, 2024

Jaga diri dari lingkungan digital dan pelecehan seksual di medsos

Must read

Kementerian Komunikasi dan Informatika RI kembali menggelar webinar literasi digital untuk masyarakat Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Kali ini, Sabtu (14/8/2021), webinar mengusung tema “Lawan Pelecehan Seksual di Media Online”. Kegiatan diskusi virtual ini merupakan bagian dari program nasional literasi digital yang dicanangkan Presiden Joko Widodo pada 20 Mei 2021 untuk mendukung percepatan transformasi digital.

Di tingkat pelaksanaan, pemerintah menyuntikkan wawasan literasi digital yang mencakup empat pilar: digital ethics, digital culture, digital skill, dan digital safety. Harapannya, program ini dapat menciptakan sumber daya yang cakap dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Hari ini, presenter Mifty Vasko memandu jalannya diskusi dengan menghadirkan empat pemateri: Nyarwi Ahmad (dosen Fisipol UGM), Agus Sulistyo (komisioner Bawaslu Kota Surakarta), Nurhayati (kepala MAN 1 Tegal), dan Shofi (kepala MAN 2 Kudus). Putra Pariwisata Nusantara 2018 Arya Purmana juga turut hadir sebagai key opinion leader.

Nyarwi Ahmad memantik diskusi pagi tadi dengan mengatakan, kondisi masyarakat saat ini sudah banyak berubah. Masyarakat kini bukan lagi sekadar masyarakat informasi, tetapi juga masyarakat yang berbasis jejaring. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang memberikan kemudahan akses dalam berjejaring menggunakan platform media digital apa pun. “Namun konsekuensinya juga muncul berbagai risiko baru. Salah satunya, meningkatkan pelecehan atau kekerasan seksual di dunia digital,” ujarnya.

Jika dilihat data perbincangan tentang isu pelecehan/kekerasan seksual di platform media digital cukup tinggi, salah satunya di Twitter. Masalah ini sebenarnya sudah menjadi concern banyak orang. Banyak juga influencer yang kemudian mengkampanyekan anti kekerasan atau anti pelecehan seksual di media sosial dengan memanfaatkan tagar untuk menjangkau secara lebih luas tentang peringatan isu tersebut.

“Dari tahun ke tahun kasus kekerasan/pelecehan seksual meningkat. Mengutip data LBH Apik, kasus ini meningkat dari 795 kasus pada 2019 menjadi 1.178 kasus pada 2020. Hal ini tentu perlu perhatian, karena jumlah tersebut baru kasus terlapor. Pelecehan paling umum terjadi di media sosial seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, Snapchat,” jelas Nyarwi.

Pelecehan seksual merupakan perilaku yang dianggap melanggar norma kesusilan dan kesopanan yang bertujuan untuk memuaskan nafsu pribadi. Dapat dianggap sebagai tindakan pelecehan seksual jika tindakan tersebut hanya menguntungkan salah satu pihak, sedangkan yang lainnya dirugikan atau dipermalukan.

Bentuk pelecehan atau kekerasan seksual dapat berupa berbagai tindakan, baik secara fisik maupun verbal. Di platform digital, misalnya, mengirim pesan atau komentar yang terkait dengan seks hingga membuat korbannya merasa risih atau takut, itu sudah masuk ke dalam ranah pelecehan. Bentuk lainnya, juga bisa berupa ancaman distribusi foto atau video tak senonoh dan ucapan atau pertanyaan tidak sopan yang menjurus ke arah pelecehan seksual.

“Untuk menghindari kasus tersebut di media sosial, maka setiap pengguna tidak hanya perlu memiliki kecakapan literasi digital, tetapi kecakapan digital. Yaitu, etika dalam bermedia. Sebab, kita tidak hanya hidup di tengah masyarakat informasi tetapi juga masyarakat berjejaring,” terang Nyarwi kepada seratusan peserta diskusi digital.

Nyarwi menambahkan, penanganan kasus pelecehan/kekerasan seksual masih memiliki banyak kekurangan. Dari segi undang-undang, tidak ada istilah pelecehan seksual tetapi pencabulan. Korban juga sulit melapor karena minim alat bukti, korban merasa takut, minimnya saksi. Dalam UU ITE pun proses pembuktian harus melalui forensik, lalu sidang kasus kekerasan berbasis gender secara online (KBGO) dilakukan secara terbuka, padahal pasal yang dikenakan menggunakan pasal kesusilaan.

Dalam penanganan kasus ini peran lembaga pemerintahan sangat penting. Saat ini, Kementerian PPPA memiliki layanan call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) di nomor 129 atau 08111- 129-129. Begitu juga peran organisasi sosial juga penting untuk memberi pengayoman kepada korban pelecehan/kekerasan seksual, serta peran orangtua dan keluarga sebagai lingkungan yang paling dekat.

“Melawan pelecehan/kekerasan seksual dapat diupayakan dengan berkolaborasi bersama korban penyintas, memperkuat kompetensi digital, memanfaatkan media untuk mengkampanyekan anti pelecehan/kekerasan. Dalam bermedia sosial berhati-hati dalam memilih pertemanan dan masuk dalam grup, pahami pengaturan privasi akun data pribadi, tidak mudah unggah data pribadi terlalu rinci, serta dapat bersikap kritis ketika berelasi di dunia maya,” tutupnya.

Sementara itu Agus Sulistyo menambahkan, tindakan pelecehan/kekerasan seksual merupakan perbuatan yang memang dikehendaki pelaku. Tindakan itu didasarinya atau diketahuinya bahwa nilai perbuatannya itu sebagai tindakan menyerang rasa kesusilaan umum dan mewujudkan perbuatan itu secara terbuka di muka umum. Jadi harus disadari ketika sudah masuk wilayah konten negatif. Itu merupakan hal terencana yang masuk ranah hukum dan bisa kena sanksi hukum.

“Maka, tindakan tersebut harus dilawan demi melindungi kehormatan, menjunjung norma, dan terjaga dari ancaman kejahatan lainnya. Sebab dampak dari tindakan ini selain menimbulkan eksploitasi kesusilaan dan pemerasan juga ada dampak lanjutannya berupa trauma, konflik diri dan sosial, dan hilangnya kebahagiaan,” jelas Agus.

Dalam studi kasus pelecehan/kekerasan seksual, tindakan ini terjadi biasanya karena motif hubungan yang awalnya saling suka dan didokumentasikan, namun menjadi ancaman ketika putus. Ada juga motif finansial, kenalan di medsos kemudian berlanjut ke video call dan sebagainya yang direkam dan diancam disebarkan. Atau, motif lowongan pekerjaan dengan syarat yang aneh kemudian timbul ancaman. Juga alasan kepuasan. Melalui swafoto yang diedit kemudian digunakan untuk meneror demi mendapatkan kepuasan.

“Pencegahan agar tidak terjerumus pada kasus ini adalah mengenali lingkungan platform media digital dan tidak membuka ruang bagi mereka yang berpotensi melakukan tindakan tersebut. Ketika sudah mengarah pada kasus, maka diri kita harus menjadi kontrol. Itu sebabnya, kecakapan digital dan literasi digital menjadi penting di sini. Pahami fitur keamanan privasi perangkat, akun, dan data pribadi.”

Saat menjadi korban, jangan menutup diri. Berpikirlah dengan jernih dan kritis, kemudian ceritakan pada orang yang dipercaya atau pada layanan aduan, dan laporkan. Sebab jika berdiam diri dampaknya akan berlanjut pada trauma, konflik diri dan sosial, serta kehilangan kebahagiaan.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article