Pengguna digital perlu waspada terhadap berbagai informasi di dunia maya yang berkaitan dengan konten agama. Kemudahan mengakses informasi di dunia maya memang menyenangkan, karena kepraktisan dan kecepatannya. Namun di satu sisi juga dapat disalahgunakan oknum untuk memberikan pemahaman yang salah pada masyarakat.
“Ingat, ketika kita belajar agama dari dunia maya, misalnya mencari sumber dari mesin pencari seperti Google, kita tidak bisa mengontrol informasi yang akan disuguhkannya, mana yang benar mana yang salah,” kata Direktur Lembaga Survei IDEA Institute Indonesia Jafar Ahmad saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema ”Dalami Agama di Dunia Maya” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Kamis (12/8/2021).
Jafar mengungkapkan, ajaran-ajaran salah soal agama begitu mudah disebarkan melalui media internet. Jafar pun merujuk satu terminologi menarik yang dilontarkan pendiri Rumah Fikih Indonesia, Ustaz Ahmad Sarwat. Ustaz Ahmad Sarwat menyoroti fenomena orang-orang yang belajar agama dari dunia maya ini dalam bukunya yang berjudul ‘Mengaji Lewat Google’.
Dalam sorotannya, Ustaz Ahmad Sarwat menilai mengaji atau menimba ilmu agama seharusnya melalui sumber rujukan ilmu yakni para ulama. “Media untuk menimba ilmu sebaiknya buku, narasumbernya para ulama, dan perlu guru pendamping,” kata Jafar.
Belajar agama dari internet, lanjut Jafar, ketika tak diimbangi dengan guru tetap dan pengajian maka ada dua kemungkinan yang terjadi, meski akhirnya tetap sama-sama kelar.
Pertama, ketika belajar dari dunia maya tanpa guru pendamping dan pengajian, jika kebetulan sumber rujukannya itu benar, maka juga akan bercabang. Apakah benar yang dimaksud menurut mayoritas muslim atau benar menurut pribadi dan kelompoknya.
Jika sumber dari internet itu kebetulan benar menurut mayoritas muslim, tutur Jafar, selanjutnya tidak akan bisa interaksi dengan ustadz sehingga akhirnya banyak bingung dan ragu. Lalu mulai muncul banyak perdebatan, kemudian tidak belajar adab dan ukhuwah dan akhirnya kelar sendiri.
“Kalau sumber itu benar menurut pribadi atau kelompoknya, maka tidak akan objektif, lalu jadinya merasa diri paling benar dan akhirnya kelar,” tegas Jafar. Sedangkan jika sumber dari internet itu salah, maka otomatis langsung kelar dan tersesat menjadi radikal.
“Berbeda halnya jika belajar agama dari internet, namun juga dibarengi memiliki guru pendamping dan aktif pengajian. Dia akan punya filter dan benteng keilmuan, mau belajar adab dan ukhuwah dan akhirnya ke jalan yang benar,” kata Jafar.
Jika hanya belajar agama lewat dunia maya, berpotensi membuat orang melakukan hal-hal yang justru bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri.
“Faktor yang membuat orang menjadi intoleran dan radikal, bisa disebabkan karena proses belajar, akses internet untuk pengetahuan agama, ketidakefektifan organisasi agama dalam merangkul, dan juga persepsi tentang kinerja pemerintahan,” tegas Jafar.
Narasumber lain dalam webinar itu, Kepala Kantor Kemenag Cilacap Imam Tobroni mengatakan, etika menuntut ilmu — merujuk ajaran Syaikh Az Zarnuji — ada beberapa yang perlu diperhatikan.
“Pertama soal kecerdasan dalam menyerap, kedua kesungguhan atau ada kemauan keras, ketiga kesabaran, keempat biaya, kelima perlunya bimbingan guru, dan keenam proses yang lama,” kata Imam.
Imam pun mengakui sering mendapat keluhan, banyak guru berharap pemerintah segera mengizinkan pengajaran tatap muka dengan mengedepankan protokol kesehatan di masa pandemi ini. “Oleh sebab itu saya minta bersabarlah dulu,” ujar Imam.
Webinar yang dimoderatori Amel Sanie ini juga menghadirkan dua narasumber lain yakni Nurul Hajar Latifah (aktivis Iman Klaten) dan Arfian (dosen dan konsultan SDM), serta Tommy Boly selaku key opinion leader. (*)