Meski hampir satu setengah tahun berjalan di luar kelas, pola belajar online dari rumah rupanya masih belum sesuai harapan kualitas pengajarannya. Efektivitas waktu belajar yang serius belum optimal karena tatap muka online sugestinya buat anak didik kurang gereget. Dampaknya, banyak orangtua yang mengeluhkan kualitas pengajaran.
Bahkan Dr. Anies Masdhuqi, dosen UIN Sunan Kalijaga Yogya menengarai, mulai makin banyak siswa peserta didik yang kecanduan digital secara negatif. Kurang serius belajar konten materi pelajaran dan cenderung susah konsentrasi, tapi waktu yang lebih lama dari tidurnya, 8,5 jam sehari mengakses internet. Hal itu membuat anak sekolah berpotensi kecanduan internet, gim dan aktivitas non kepengajaran yang diburu dan menyita waktu belajar anak.
”Dampaknya serius, anak malas beraktivitas selain pegang hape. Kurang bergaul dengan lingkungan sosial dan puncaknya produktivitas rendah. Disuruh apa-apa marah dan akhirnya prestasi akademik menurun. Ini kalau tak segera diperbaiki, berbahaya buat anak didik,” pesan penuh khawatir disampaikan Masdhuqi saat berbicara dalam webinar literasi digital yang dibesut Kementrian Kominfo dan Debindo untuk warga Kabupaten Bantul, Yogyakarta 12 Juli 2021.
Meski tak menolak sinyalemen Masdhuqi, pembicara lain Suharti, sekretaris LPPM UNU Yogya, masih menemukan banyak siswa dan guru yang positif memanfaatkan ruang belajar dengan kreatif dan positif. Tak selamanya mengakses hape selalu celelekan dan gojek, bercanda semaunya pada saat jam belajar tapi justru tekun serius saat mengakses gim.
”Jadi, orangtua sering kecolongan anaknya berlari dan melompat jauh di banyak hal, tapi tak sedikit yang kreatif bikin konten belajar. Masih banyak yang membuat laporan pelajaran dengan gambar dan bikin video menarik,” urai Suharti.
Masdhuqi dan Suharti sinergis membahas topik diskusi bertema ”Tantangan Pembelajaran di Era Digital” yang diikuti 500-an peserta seantero Kabupaten Bantul. Dipandu moderator Dwiky Nara, tampil juga dua pembicara lain: Kristiyuana, praktisi pendidikan dan socialpreneur, Imam Wicaksono, CEO Sempulur Craft Bantul, serta Niya Kurniawan, Moms Influencer dan Blogger yang tampil sebagai key opinion leader.
Memang, semua peserta didik sudah tiga semester lewat 18 bulan dipaksa belajar yang semula tidak begitu suka kini mau tidak mau harus bisa belajar secara digital. Kristiyuana mengatakan, buat anak dan remaja yang dunianya serba bermain, memang dipaksa belajar serius akan cepat bosan. Makanya, guru mestinya melatih untuk tiap 20 menit break belajar dan menciptakan aktivitas yang bikin suasana tak menjemukan, agar anak segera fresh untuk lanjut belajar lagi.
”Dan, orangtua juga jangan segan bertanya pada anak terkait aktivitas medsosnya. Jangan sampai orangtua terus tertinggal, sementara anaknya makin maju, makin andal dan cakap digitalnya,” pesan Kristi.
Memang, ciri bakat malas dan banyak alasan adalah sinyal anak bakal tidak pengin sukses belajar. ”Wah Bu, rumah saya ramai dekat café, atau rumah saya sinyal jauh, dekat hutan sinyalnya buruk. Banyak alasan. Ini menjadi tantangan buat guru untuk membuat konten dan materi yang bisa dionlinekan secara menarik dan mudah dipahami siswa dikelas online,” lanjut Kristi.
Repotnya, kata Kristi, problemnya justru di situ karena ternyata cukup banyak guru yang masih gaptek. Dan ini tentu butuh peran guru muda untuk membantu meningkatkan kecakapan digital guru-guru senior. ”Kalau sinergi kolaboratif bisa segera diwujudkan, maka kelas online yang menyenangkan buat guru dan siswa bisa menjadi solusi belajar asyik di masa pandemi,” tutup Kristiyuana.