Generasi merunduk. Sebutan ini muncul sejak tahun 2015, di mana Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Kementerian Kominfo merilis data riset tahun itu yang disampaikan pada 2016. Penyebutan generasi ini merujuk pada realitas kuatnya egoisme anak dan remaja yang, meski bergaul dalam satu komunitas keluarga atau pertemanan, selalu merunduk. Mengabaikan lingkungan, apatis, dan masa bodoh dengan lingkungan sosial, karena asyik dan kecanduan gawai.
Separah apa dampak negatif gadget pada remaja dan anak kita? Riset dua kementerian itu menyebutkan, seperti disitir Zain Handoko, pengajar pesantren Aswaja Nusantara, 14 persen remaja Indonesia mengalami kecanduan gim online. Meski terkesan kecil, 14 persen, tapi angka kecanduan gim itu tertinggi se-Asia, bahkan angka tersebut melebihi Korea yang hanya 12 persen.
Tak hanya itu, 25 ribu remaja Indonesia setiap hari mengakses situs porno dunia. Hal ini karena, sejak bertahun silam, ada 30 juta situs porno aktif di beragam medsos. Di antaranya mengecoh dengan mendompleng situs yang terkesan baik-baik judulnya, tapi ternyata bentuk benalu digital dari situs porno. Dan, sejak 2016, Kominfo baru bisa memblokir situs porno 700 ribu saja.
”Sangat kecil dari populasinya. Jadi, jelas sangat besar ancaman efek negatif dunia maya bila orangtua tak waspada,” urai Zain Handoko saat tampil sebagai pembicara webinar literasi digital dengan topik menarik ”Melawan Dampak Negatif Dunia Digital”. Diskusi virtual yang merupakan bagian dari Gerakan Nasional Indonesia Makin Cakap Digital ini diselenggarakan oleh Kementerian Kominfo untuk warga Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, 7 Juli 2021.
Bahaya pornografi digital makin terasa karena, dalam catatan Kompas.com 2016, 40 persen remaja putri Indonesia pernah mengalami bullying seksual secara digital. Artinya, 5 dari 10 remaja putri di bawah 17 tahun pernah di-bully secara seksual meski lewat media digital, baik pelecehan fisik maupun perundungan siber. Ini butuh perhatian orang tua.
”Menyetop akses bukan solusi, karena ini sudah kehendak zaman. Karena selama bisa diawasi, konten internet juga berdampak positif dalam tumbuh kembang anak. Yang bijak adalah peran orangtua mengawasi konten dan situs yang diakses anak. Sebab, di masa pandemi, potensi dan waktu akses ponsel ke medsos ada di rumah. Dan, jadilah orangtua teman diskusi anak, agar anak tercerahkan dan punya teman sharing yang bijak dan berwawasan,” pesan Zain.
Kalau tak diawasi, sambung Zain, kecanduan bisa berlanjut parah. Di Jawa Barat pada 2019 sudah ribuan anak yang kecanduan gawai sampai mesti jadi pasien rumah sakit jiwa, karena mulai menyerang orang rumah. ”Kalau dihentikan pemakaian gawainya, gelisah sampai seperti sakaw narkoba, bergerak linglung. Sungguh realitas yang memprihatinkan”.
Zain tampil bersama tiga pembicara lain: Yoshe Angela dari Kaizen Room yang juga social media planer dari PT Cipta Manusia Indonesia; Saeroni, Kepala Pusat Studi Keluarga dan Kesejahteraan Sosial Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, dan Siska Sasmita, dosen Universitas Negeri Padang. Ikut pula bergabung Nania Yusuf, musisi yang tampil sebagai key opinion leader.
Data temuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) 2019 yang di-launcing awal 2020 sebelum masa pandemi tak kalah mengejutkan. BNPT mensinyalir 85 persen generasi milenia berisiko terpapar paham radikalisme dan terorisme. Ini karena cara konsumsi informasi milenia terhadap paham konservatif dan radikalisme berbasis agama sering tak tuntas. Mereka lebih mengulas paham kekeluargaan dan bukan mengulas ideologinya.
Dampaknya tak main main, 23 persen pegawai muda di sektor swasta tak setuju ideologi Pancasila dan setuju jihad dilakukan untuk memperjuangkan khilafah. Sikap yang sama juga disetujui anak SMU (18%), bahkan PNS (19%) dan pegawai BUMN (9,1%). ”Ini dinamika yang cukup mengejutkan dalam paparan Ideologi radikalisme berbasis informasi medsos dalam bidang agama,” papar Saeroni, pembicara lain.
Siska Sasmita ikut urun rembuk. Melihat realitas di atas, ia menyebut urgensi meningkatkan kecakapan digital dan menambah bacaan literasi pada generasi muda. Baik itu buku konvensional maupun literasi informasi digital. Biasakan membaca tuntas, memilih dan mencari literasi yang akuntabel di medsos. Biasakan menuntaskan informasi yang didapat atas suatu isu. Jangan cuma sepotong, agar informasi yang diterima tidak malah merusak pola pikir.
”Apalagi kalau baru baca sepotong terus di-share, ini akan menghadirkan kaum muda dan desa consumer informasi hoaks dan berlanjut menjadi produsen penerus info hoaks. Ini butuh para pihak untuk menyetop dengan bijak,” ujar Siska.
Siska menambahkan, literasi digital adalah kerja besar dan kolaboratif. Juga, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. ”Semua elemen masyarakat mesti bergabung dan berkesinambungan, untuk terus membanjiri dunia digital dengan konten positif melawan dampak negatif yang tak kita kehendaki, demi kemajuan dan kecerdasan anak bangsa,” pungkas dosen Universitas Negeri Padang itu, menuntaskan diskusi.