Hoaks alias kabar bohong sejatinya bukan hal baru. Namun, seiring perkembangan teknologi digital, penyebarannya semakin cepat dan menimbulkan efek yang lebih buruk. Tema webinar literasi digital ”Menjadi Pejuang Anti Kabar Bohong” diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (14/9/2021). Kegiatan ini merupakan salah satu bagian dari program yang dirancang untuk masyarakat dalam meningkatkan kecakapan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Diskusi virtual hari ini yang dimoderatori oleh tv presenter Nabila Nadjib, menghadirkan empat narasumber: Septa Dinata (researcher Paramadina Public Policy), Abd Su’ud (Kepala Sub Bagian Umum dan Hubungan Masyarakat Kanwil Kemenag DIY), Nyarwi Ahmad (Direktur Eksekutif Indonesia Presidential Studies), dan Bambang Barata Aji (Ketua Yayasan Dalang Nawan Banyumas).
Selain itu, turut hadir dalam diskusi, Miss Halal Tourism Indonesia 2018 Riska Yuvista sebagai key opinion leader. Masing-masing narasumber menyampaikan tema diskusi berdasarkan pilar literasi digital yang meliputi digital ethics, digital culture, digital skills, dan digital safety.
Septa Dinata menjelaskan, keamanan digital kita sebagai pengguna media digital itu merupakan pantulan dari apa yang kita lakukan di ruang digital. Atau, secara sederhananya, selalu ada konsekuensi pada setiap tindakan yang kita lakukan, termasuk ketika berada di ruang digital.
Secara garis besar, kata Septa, keamanan digital itu mencakup perlindungan data yang menjadi pertahanan utama keamanan. Sebab di ruang digital ini, masih ada celah atau ruang yang dapat dimanfaatkan untuk kejahatan jika pertahanan digital itu lemah.
”Mengamankan kata sandi menjadi benteng kita dalam mengamankan data dan identitas digital. Kekuatan password yang kuat terdiri dari sekurang-kurangnya delapan karakter dengan kombinasi huruf besar dan huruf kecil, serta angka dan simbol. Gunakan kata sandi yang berbeda di setiap akun media digital yang kita miliki. Dan, yang perlu kita lakukan adalah tidak membagikan kata sandi, aktifkan identifikasi faktor ganda, dan ubah sandi secara berkala,” jelas Septa kepada peserta webinar.
Seperti jamak diketahui, data yang bocor bisa mengarahkan pada tindak kejahatan digital yang dapat terjadi dengan berbagai modus, salah satunya phising. Yakni, kejahatan digital yang bekerja dengan memancing korban memberikan data pribadi melalui pesan-pesan tertentu.
Ruang digital, selain berpotensi terjadi kejahatan digital, juga menjadi ruang tersebarnya konten negatif seperti misinformasi, disinformasi, dan hoaks. Masyarakat perlu memahami perbedaan misinformasi dan disinformasi serta hoaks yang banyak dihadapi masyarakat saat ini.
”Agar terhindar dari hoaks, biasakan diri untuk tidak berhenti membaca sampai di kepala berita saja. Cek juga kutipan atau isi kontennya, karena judul terkadang dilebih-lebihkan untuk mencari atensi pengguna media digital. Berpikir kritis dan membandingkan informasi dengan sumber pemberitaan lain, atau tanyakan ahli secara langsung dan menggunakan fact-checkers,” beber Septa.
Nyarwi Ahmad menambahkan, penetrasi penyebaran hoaks banyak ditemukan di ruang media sosial, dengan isu yang paling banyak ’digoreng’ yakni di bidang politik dan agama. Dalam riset yang dilakukan Mafindo, hoaks terkait politik mencapai persentase 49 persen dan tema agama mencapai 11 persen. Kedua tema tersebut paling riskan, karena paling mudah memancing emosi dan sentimen.
”Hoaks sebagai tindakan yang tidak disengaja bisa terjadi pada siapa saja. Seseorang yang menjadi korban penyebaran hoaks dan cenderung mempercayainya, secara tidak sadar ikut menyebarkannya. Oleh karena itu, pengguna media digital memerlukan kecakapan berpikir kritis dalam menghadapi suatu informasi,” jelas Nyarwi.
Nyarwi menambahkan, setidaknya ada lima kompetensi dalam literasi digital yang dapat dipahami agar tidak terlibat sebagai orang yang memproduksi maupun menyebarkan hoaks. Warga digital memerlukan kompetensi dalam mengelola data, berkomunikasi dan kolaborasi, mengkreasi konten, mampu mengelola keamanan, dan berpartisipasi dalam memerangi hoaks.
”Ketika itu berupa hoaks, akan lebih mudah mengidentifikasinya dengan menggunakan prinsip jurnalistik. Mengecek kredibilitas media yang memuat berita, mengecek kredibilitas penulis berita. Cek juga kelengkapan elemen dasar wacana berita 5W + 1H. Kemudian evaluasi objektivitas berita dan keberpihakan beritanya,” pungkas Nyarwi, yang juga dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM. (*)