Keberagaman di Indonesia perlu disikapi dengan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan, dari Kementerian Agama pun mengajak untuk mengedepankan dan menumbuhkan sikap moderat. Karakter negara Indonesia ini perlu terus diingatkan sebab transformasi teknologi agaknya mempengaruhi perubahan karakter masyarakat. Hal ini dibahas dalam kegiatan webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kominfo RI untuk masyarakat Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (23/9/2021).
Moderator Zacky Ahmad (entertainer) mengajak empat narasumber untuk berdiskusi tentang tema “Moderasi Beragama dan Negara Kesatuan Republik Indonesia “ dengan perspektif dari empat pilar literasi digital: digital ethics, digital culture, digital skills, dan digital safety.
Salah satu narasumber, direktur eksekutif Indonesia Presidential Studies Nyarwi Ahmad menyampaikan bahwa sejatinya kebebasan beragama dilindungi oleh Undang-Undang, Pasal, ayat, bahwa negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya.
Di era digital kompetensi literasi digital diperlukan untuk tetap bisa menjaga keberagaman di ruang digital. Sebab karakter masyarakat sekarang sudah berubah dari sekedar masyarakat informasi ke masyarakat digital. Ancaman masyarakat digital tidak main-main, khususnya keamanan ketika bermedia digital.
“Ada ancaman data privasi, keamanan privasi perangkat dan pengguna, keamanan akses, dan keamanan data dari serangan-serangan kehajatan digital. Sikap moderatpun menjadi berkesinambungan dengan keamanan bermedia digital karena mengajak orang untuk saling menghargai,” jelasnya kepada 200-an peserta webinar.
Ia mencontohkan kasus Taliban yang menjadi perbincangan banyak kalangan termasuk oleh masyarakat Indonesia. Menyikapi hal tersebut sebagai warga Indonesia, moderasi beragama hendaknya bisa kembali merujuk pada nilai-nilai Pancasila yang menjadi pondasi yang mengajarkan toleransi, keragaman, dan perlu adanya kesatuan.
“Pendidikan dan penanaman nilai-nilai Pancasila tidak bisa dilakukan dengan model lama melalui media mainstream seperti tv, koran, dan majalah. Tetapi memanfaatkan berbagai media digital secara tepat. Memberikan pesan-pesan melalui konten yang divisualisasikan secara empirik dan mudah dimengerti oleh logika anak-anak, dan pemuda. Untuk itu keompok professional yang terdidik perlu berkolaborasi dengan kalangan content writers dan conten creator untuk menyusun konten-konten kretif yang bermuatan nilai Pancasila,” imbuhnya.
Kabid Pendidikan Agama Dan Keagamaan Islam Kanwil Kemenag DIY Buchori Muslim menjelaskan kaitannya dengan etika bermedia digital, khususnya dalam menyampaikan informasi. Mengutip surat Alhujurat ayat enam, etika menyampaikan informasi adalah memverifikasi kebenaran berita atau dalam Islam disebut tabayyun.
Kemungkinan kemudahan dalam membuat dan menyebarkan informasi di era revolusi 4.0 membuat masyarakat cenderung melupakan validitas informasinya. Oleh sebab itu media digital hendaknya dimanfaatkan sebagai media untuk menebar kebaikan kepada sesama umat manusia. Dan ajaran agama harus dibawa dengan mengingat adanya pahala dan dosa pada setiap perilaku manusia.
“Interaksi di ruang digital perlu memerhatikan etika untuk menghindarkan dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti hoaks dan radikalisme dan konten negatif lainnya. Kita perlu menghindari oversharing atau terlalu banyak membagikan hal-hal yang sifatnya pribadi dan tidak membagikan informasi yang belum tentu kebenarannya,“ ujar Buchori Muslim.
Etika yang perlu diterapkan lainnya adalah dengan meminta izin ketika akan mengunggah karya orang lain dengan mencantumkan sumber, begitupun ketika ingin megunggah foto atau rumah milik orang lain karena itu adalah privasi orang. Kemudian memperhatikan kenyamanan orang lain ketika merekam momen di tempat umum, jangan sampai pergerakan kita mengganggu kegiatan orang lain.
“Menggunakan bahasa yang sopan ketika berinteraksi maupun berkomunikasi di ruang maya dengan tidak berkata jorok, hujatan, ujaran kebencian dan sebagainya. Tidak menyebarkan isu SARA, menghargai pendapat orang lain, serta tidak ikut menyebarkan informasi yang belum pasti kebenarannya,” jelasnya.
Kegiatan webinar literasi digital hari ini juga diisi oleh narasumber lainnya Bambang Barata Aji (ketua Yayasan Dalang Nawan Banyumas), Nuzran Joher (anggota komisi kajian ketatanegaraan MPR RI). Selain itu ikut dalam diskusi adalah Nindy Gita (professional public speaker) yang menjadi key opinion leader dalam diskusi. (*)