Selain membawa perubahan ke arah yang baik sebagai dampak positifnya, era digital juga membawa banyak dampak negatif, sehingga menjadi tantangan baru dalam kehidupan manusia. Tantangan era digital telah pula masuk ke dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan, dan teknologi informasi itu sendiri.
”Era digital bukan persoalan siap atau tidak dan bukan pula suatu opsi, namun sudah merupakan sebuah konsekuensi,” ujar mantan Walikota Surakarta FX Hadi Rudyatmo saat menjadi pembicara pada webinar literasi digital bertema ”Literasi Digital sebagai Alat Pemersatu Kebhinnekaan” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kota Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (22/9/2021).
Rudy mengatakan, teknologi akan terus bergerak ibarat arus laut yang terus berjalan ditengah-tengah kehidupan manusia, maka tidak ada pilihan lain selain menguasai dan mengendalikan teknologi dengan baik dan benar agar memberi manfaat yang sebesar-besarnya.
Era digital dengan media sosialnya, lanjut Rudy, setidaknya memiliki lima potret negatif. Pertama, kurangnya rasa solidaritas dan persaudaraan sehingga banyak terjadi pertikaian atau kerusuhan antar golongan, antar agama, dan antar suku. Kedua, nilai kekeluargaan semakin berkurang karena masih banyak warganet berkomunikasi dengan cara berkomentar kasar atau menghina sehingga terjadi konflik.
Ketiga, penghormatan terhadap tata sosial semakin berkurang dengan maraknya aksi tawuran, saling menghina agama, suku bangsa, dan lainnya. Keempat, gaya hidup yang konsumtif dan kurang mensyukuri apa yang diberikan oleh Tuhan, sering tercermin dalam status atau produksi konten para warganet. Kelima, kurangnya sikap untuk menghormati dan menghargai keberagaman dan menghindari egoisme yang bersifat sektarian.
”Potret negatif inilah yang menjadi salah satu indikator merebaknya Intoleransi, diskriminasi, perundungan, dan sikap ego, baik secara personal maupun komunal,” tegas Rudy di depan 340-an partisipan webinar.
Rudy berharap, literasi digital akan menciptakan tatanan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang kritis-kreatif. Mereka tidak akan mudah termakan oleh isu yang provokatif, menjadi korban informasi hoaks, atau korban penipuan yang berbasis digital. Dengan demikian, kehidupan sosial dan budaya masyarakat yang tercermin dalam keberagaman, dalam Kebhinnekaan, akan cenderung aman dan kondusif.
”Membangun budaya literasi digital perlu melibatkan peran aktif masyarakat secara bersama-sama. Keberhasilan membangun literasi digital merupakan salah satu indikator pencapaian dalam bidang pendidikan dan kebudayaan,” pungkas Rudy.
Narasumber lain dalam webinar ini, Kepala Biro Detik.com Jateng dan DIY Muchus Budi Rahayu menyatakan, media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual.
”Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Namun, semua outputnya bukan karya jurnalistik,” tegas Muchus.
Media digital, menurut Muchus, melahirkan ruang sosial baru yang bernama netizen atau warga digital. Hadirnya netizen merefleksikan adanya kekuatan sipil baru yang bisa melakukan kontrol sosial, politik, memunculkan solidaritas sosial dan pemihakan pada kaum lemah. Solidaritas netizen bisa menggelorakan nasionalisme, persatuan, kebhinekaan dan menjaga keutuhan NKRI.
”Di sisi lain, ruang digital dengan netizennya juga menghadirkan kekhawatiran munculnya perpecahan, ujaran kebencian, hoaks, intoleransi, radikalisme dan ancaman bagi keutuhan NKRI. Disinilah peran penting literasi digital diperlukan, agar ruang digital makin positif dan bermanfaat,” tutup Muchus.
Dipandu moderator Bobby Aulia, webinar kali ini juga menghadirkan Tomy Widyatno Taslim (pekerja Seni), Emmanuel Didik Kartika Putra (Jurnalis dan Penulis, Pemimpin Umum media online FokusJateng.com), Nindy Gita selaku key opinion leader. (*)