Jumat, November 8, 2024

Media informasi berperan vital dalam penanganan kebencanaan

Must read

Media informasi memiliki peran tersendiri dalam penanganan kebencanaan dalam meminimalisir risiko bencana serta memberikan perlindungan terhadap masyarakat. Meski demikian, pada kenyataannya, banyak juga ditemukan disinformasi seputar kebencanaan yang dapat menimbulkan kecemasan dan kepanikan masyarakat.

Hal tersebut disampaikan dalam kegiatan webinar literasi digital yang dilaksanakan untuk masyarakat Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu (16/6/2021). Acara ini menghadirkan sejumlah narasumber yang berkompeten di bidangnya: Staf Khusus Kominfo Rosalita Niken Widiastuti, Diana Aletheia dari Kaizen Room, jurnalis Radar Semarang Sigit Rahmanto, serta dosen Universitas Serang Raya Akhmad Nasir. Kegiatan dipandu oleh entainer dan konten kreator Rio Siswanto sebagai moderator dan key opinion leader Ayu Rachma.

Literasi digital merupakan program pemerintah RI melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) untuk mewujudkan masyarakat yang cakap digital. 

Stafsus Kominfo, Rosalita Niken Widiastuti, dalam kesempatan tersebut menyampaikan bahwa media informasi merupakan salah satu upaya pemerintah dalam penanganan bencana. Pemerintah memiliki hak untuk menyosialisasikan kondisi pasca bencana melalui komunikasi kebencanaan. 

“Dalam menanggulangi kebencanaan semua pihak memiliki tanggung jawab bersama, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah serta masyarakat dengan tujuan pengurangan dan pemaduan risiko bencana. Sedangkan peran Kominfo dalam hal ini adalah memastikan jaringan informasi dapat berfungsi karena masyarakat perlu menggunakan komunikasi,” ujar Niken. 

Sedangkan dampak bencana selain secara fisik juga berupa informatif. Banyak ditemukan informasi palsu atau berita hoaks tentang kebencanaan yang justru menimbulkan kecemasan masyarakat. Biasanya berita hoaks memiliki ciri antara narasi berita dan judul dan foto tidak selaras. 

Selain narasi dan foto berita yang berbeda, jelas Niken, ciri-ciri hoaks memiliki pesan sepihak dan tidak netral, mencatut tokoh terkenal dengan menggunakan argumen dan data secara teknis supaya nampak ilmiah yang membuat masyarakat mudah percaya. Berita seperti ini biasanya ditulis oleh media abal-abal atau yang tidak terdaftar di Dewan Pers, serta menggunakan manipulasi foto dan keterangannya.

“Tahun lalu jumlah hoaks mencapai 1.124 kasus dan total penyebaran mencapai 1.973 melalui berbagai platform media sosial. Di era post truth ini karena banjir informasi selain banyak info positif, info bermuatan negatif juga leluasa beredar. Bahayanya, fakta obyektif menjadi kabur dan tidak penting lagi sepanjang narasi, cerita dan pemikiran diterima berdasarkan kesamaan pandangan, pikiran, dan keyakinan,” jelas Niken.  Dalam menjembatani dan menanggulangi hal ini, pemerintah wajib menjaga kebhinekaan. Salah satunya melalui literasi digital. Hal ini bisa dilakukan dengan melaksanakan literasi media, melakukan klarifikasi resmi jika ditemui berita palsu, mengampanyekan dan menggandeng komunitas untuk melawan hoaks. Jika menemui hal yang mencurigakan, masyarakat bisa melapor ke Kominfo melalui [email protected], aduankonten.id, atau trustpositif.kominfo.go.id agar segera mendapat tindak lanjut.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article