Senin, November 18, 2024

Upaya taat hukum dalam bermedia digital

Must read

Tatanan hukum merupakan satu kebijakan yang mengikat untuk meminimalisir kegaduhan. Sebagaimana saat beraktivitas digital “taat hukum” merupakan satu kewajiban bagi pengguna media digital. Tema “Menuju Masyarakat Digital yang Taat Hukum” ini dibahas dalam dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI untuk masyarakat Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Selasa (21/9/2021).

Praktisi pendidikan Andika Renda Pribadi sebagai salah satu narasumber diskusi menjelaskan tingginya pengguna internet Internet dan aktivitas digital di dalamnya seharusnya mendorong masyarakat untuk memahami keamanan berdigital.

Kehadiran teknologi seharusnya dimanfaatkan untuk memberi kemudahan, menjalin interaksi, mendidik, dan melakukan kebaikan dan menyampaikan kebenaran dan bukan kebalikannya. Prinsip kebaikan berdigital dalam kata lain dapat diartikan sebagai taat hukum, sebab berdigital tidak hanya soal keamanan tetapi juga tentang kenyamanan.

Perilaku tidak taat hukum dalam berdigital salah satunya adalah tindakan penipuan digital dengan berbagai modusnya seperti phising dan scam. Data pada Januari 2019 hingga Januari 2020 menunjukkan ada 1.566 aduan penipuan online yang dilaporkan melalui Patrolisiber.

“Dengan demikian keamanan digital harus ditingkatkan. Antisipasi dasar agar tidak terjerat pada penipuan digital adalah mampu mengamankan identitas digital yang sifatnya privat seperti PIN dan password, serta mempublikasikan identitas digital secara tidak berlebihan. Mampu mengelola akun dengan penuh tanggung jawab baik ketika menggunakan identitas asli atau menggunakan nama samaran,” jelas Andika Renda Pribadi.

Perilaku tidak taat hukum dalam berdigital adalah menyebarkan berita bohong atau hoaks. Banyaknya informasi yang ada di internet menuntut pengguna media digital untuk lebih cermat dalam pilah pilih informasi agar tidak terjebak sebagai penyebar hoaks atau justru memproduksi hoaks.

Mengetahui berita hoaks dapat dilakukan dengan double crosscheck pada URL dan situs yang digunakan jika mengandung nama yang janggal perlu diwaspadai, periksa lagi halaman informasi untuk memastikan situs itu bukan impersonasi media lain. Patut dicurigai jika konten berita mengandung unsur memaksa dan provokasi, cek kebenaran informasi dengan Google Fact Check dan cek gambar menggunakan Google Images.

“Stop hoaks dengan mengenali informasinya, diskusikan jika dirasa perlu konfirmasi lebih lanjut, amati dan cermati tata bahasa dan konteks isi yang disampaikan, dan cegah penyebarannya dengan melapor,” imbuhnya.

Sementara itu ketua dewan pembina Internet Development Institute Sigit Widodo menjelaskan bahwa sebenarnya dunia digital sama sekali tidak terpisah dengan kehidupan luring. Interaksi yang dilakukan masih sama yaitu dilakukan dengan sesama manusia namun dengan latar belakang lebih luas. Bahkan hukum yang berlaku di dunia luring pun juga berlaku di dunia daring.

Pelanggaran-pelanggaran hukum seperti disebutkan di atas dapat dijerat dengan hukum berupa UU ITE. Oleh karenyanya menjaga jejak digital menjadi penting agar tidak tersandung pada peradilan hukum. Masalahnya, budaya digital seolah dianggap berbeda dari dunia luring. Banyak pengguna yang berani berujar kebencian, menghina kepada pengguna media lainnya secara langsung melalui interaksi komentar.

Padahal semua yang kita kirimkan ke jaringan publik dapat dengan mudah disalin dan disebarkan sehingga jejak digital akan terekam di banyak tempat meskipun kita sudah menghapus jejaknya. Bahkan ketika pesan di jaringan pribadi bisa menjadi urusan publik ketika itu direkam dan disebarkan ke ruang digital. 

“Sebenarnya mudah saja untuk taat hukum. Yaitu ketika kita tidak melakukan pencurian di dunia nyata seharusnya hal sama juga kita lakukan di dunia digital. Intinya taat hukum adalah soal bagaimana kita menjaga diri untuk tidak terbuai dan lengah dengan kebebasan dan kemudahan yang diberikan oleh teknlogi,” ujar Sigit Widodo.

Kegiatan yang dimoderatori oleh Adinda Deffy (tv presenter) juga diisi oleh narasumber lainnya Ai Munandar (dekan FTI Universitas Serang Raya Banten), I Komang Sumerta (dosen Universitas Ngurah Rai). Selain itu ikut dalam diskusi adalah Shella Siregar (public realation of State Owned Enterprise) yang menjadi key opinion leader dalam diskusi. Masing-masing narasumber menyampaikan materi diskusi dengan pendekatan empat pilar literasi digital: digital ethics, digital culture, digital skills, dan digital safety. (*)

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article