Selaiknya di dunia nyata, kerukunan masyarakat juga seharusnya dibawa saat bermigrasi ke ruang digital. Hal ini dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI dengan tema “Menjalin Kerukunan Masyarakat di Dunia Maya Melalui Pendalaman Etika” untuk masyarakat Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Selasa (21/9/2021). Kegiatan ini adalah bagian dari program nasional Literasi Digital: Indonesia Makin Cakap Digital untuk meningkatkan kecakapan masyarakat dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Praktisi komunikasi Alfan Gunawan sebagai salah satu narasumber mengatakan perubahan teknologi komunikasi seiring berjalannya zaman turut mengubah medium pengantar informasi dan interaksi antar sesama. Perkembangan tersebut kemudian menuntut masyarakat untuk mau beradaptasi.
Indonesia dengan demografi yang besar mendorong kemauan untuk adaptasi lebih cepat sebab dengan internet dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, berbagai ilmu pengetahuan, sarana meningkatkan kecakapan diri, membangun jaringan dan menciptakan interaksi sosial. Akan tetapi ada hal-hal yang perlu ditekankan terkait perilaku penggunaan internet, salah satunya menyangkut keamanan.
“Terkait digital safety atau keamanan digital banyak yang tidak kita ketahui namun setidaknya mampu memahami dasar keamanan digital. Di dunia digital ancaman keamanan berupa spam, phising, serangan malware dan spyware sangat mungkin terjadi jika mengabaikan etika perilaku di ruang digital,” jelas Alfan Gunawan kepada peserta diskusi.
Hal-hal dasar dalam menjaga keamanan digital yang perlu diketahui adalah memahami bahwa password adalah aset berharga untuk menjaga keamanan akun digital. Oleh sebab itu pengguna harus cerdas mengatur password agar tidak mudah dijebol, buat password yang kuat dengan kombinasi huruf, angka, dan simbol serta berbeda pada setiap media digital yang digunakan.
“Hindari perilaku sembarang klik tautan pada pesan yang kita terima karena bisa jadi itu adalah tautan yang akan mengantarkan pada kejahatan phising. Aktifkan two factor authentication sebagai langkah pengamanan ganda, dan meminimalisir penggunaan jaringan publik,” sebutnya.
Keamanan digital itu sebenarnya berasal dari pribadi setiap penggunanya. Ketika menerima informasi itu harus mengecek kembali kebenarannya dan jangan asal langsung menyebarkannya. Jangan terpengaruh dengan informasi dengan judul yang provokatif, periksa fakta konten dan sumber informasinya.
“Memang butuh effort atau usaha lebih untuk menciptakan lingkungan digital yang nyaman dan aman, Oleh karenanya kita perlu ikut berpartisipasi dengan bergabung dalam grup-grup yang membagikan hal positif, dan jika menemukan berita hoaks atau konten negatif sebaiknya dilaporkan ke pihak terkait,” pesan Alfan.
Menyambung diskusi, programmer Eka Y. Saputra menyampaikan diskusi terkait kecakapan dalam mitigasi risiko ujaran kebencian di ruang digital. Ia menjelaskan perbedaan pendapat seharusnya menjadi hal yang wajar baik ketika itu di dunia nyata maupun di dunia digital. Namun literasi yang kurang dapat mengantarkan intensitas konflik dan kebencian.
Ada enam skala intensitas ujaran kebencian yang memicu konflik. Pada level awal ujaran kebencian bermula dari perbedaan pendapat, kemudian berubah menjadi kritik keras dan serangan karakter hingga demonisasi dan dehumanisasi. Namun pada skala yang lebih parah, ujaran kebencian dapat berujung pada tindakan kekerasan bahkan pembunuhan.
“Sebuah kritikan jika disampaikan dengan cara yang baik dan sopan tentu akan mendapat respons yang baik pula. Menyampaikan kritik atau pendapat tidak seharusnya disertai dengan kata-kata umpatan, penyerangan karakter, hinaan, atau menyematkan nama non manusia,” jelas Eka.
Mitigasi ujaran kebencian dijelaskan oleh Eka bahwa selain menyampaikan kritik dengan cara yang etis, menjawab kritikan dengan jawaban yang ramah dapat mengurangi terjadinya konflik. Namun jika jawaban yang ramah tidak bisa mengatasinya, sebagai pelaku interaksi dapat menghentikan diskusi.
“Manfaatkan fitur mute komentar dan blokir akun jika dirasa konflik tidak bisa diatasi. Dan langkah terakhir adalah melaporkan akun. Membisukan dan blokir akun bukan pertanda kalah dalam diskusi melainkan hak sebagai pengguna untuk menjaga kesehatan mental dan mencegah konflik menjadi lebih besar,” tutupnya.
Kegiatan yang dimoderatori oleh Ayu Perwari (penari tradisional) juga diisi oleh narasumber lainnya Sani Widowati (Princeton Bridge Year On-Site Director Indonesia), dan Agus Sukoco (budayawan Purbalingga). Selain itu ikut dalam diskusi adalah Decky Tri (travel blogger) yang menjadi key opinion leader dalam diskusi. Masing-masing narasumber menyampaikan materi diskusi dengan pendekatan empat pilar literasi digital: digital ethics, digital culture, digital skills, dan digital safety. (*)