Pengajar Prodi Administrasi Publik Fisip Universitas Hasanuddin Makassar Dr. Hasniati menyatakan, bagi umat Islam moderasi beragama harus bertolak dari surat Al-Baqarah Ayat 143: Wa kadzalika ja’alnaakum ummatan wasathan, yang artinya: ”Maka demikian pula kami menjadikan kamu (ummat Islam) ’ummat pertengahan’.”
Dalam webinar literasi digital bertajuk ”Moderasi Beragama dan Negara Kesatuan Republik Indonesia” itu Hasniati berpendapat, moderasi beragama di NKRI berarti harus merawat moderasi beragama di media sosial. Hal itu sesuai dengan istilah moderasi yang, dalam bahasa Arab, dikenal dengan istilah wasathiyah (wasath), yakni pertengahan dari segala sesuatu. Kata itu bisa berarti adil, baik, terbaik, ataupun paling utama.
”Ada tiga kunci pokok dalam penerapan wasathiyyah, yakni pengetahuan yang benar, emosi yang terkendali, dan kewaspadaan. Tanpa ketiga hal ini, wasathiyyah akan sangat susah, bahkan mustahil untuk diwujudkan,” tutur Hasniati pada diskusi virtual yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo untuk masyarakat Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (19/8/2021).
Hasniati menegaskan, mengutip yang pernah disampaikan mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, moderasi beragama adalah proses memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang, agar terhindar dari perilaku ekstrem atau berlebih-lebihan saat mengimplementasikannya.
Ada beberapa sikap beragama yang berlebihan, ujar Hasniati. Di antaranya: mengkafirkan sesama hanya karena perbedaan paham tentang agama; sembahyang terus menerus, dari pagi hingga malam, tanpa mempedulikan lingkungan sosial; menghina simbol agama tertentu, dengan sengaja merendahkan agama orang lain.
”Contoh sikap ektrem yang lain, menyantap makanan dan minum minuman yang haram menurut agamanya hanya karena alasan toleransi umat beragama, mengikuti perayaan atau ritual pokok agama lain untuk alasan toleransi, merusak rumah ibadah agama lain karena tidak setuju dengan paham keagamaannya,” sebut Hasniati di depan lebih dari 400 partisipan webinar.
Masih menurut Hasniati, sesuai pengertian moderasi, maka orang moderat harus berada di jalan tengah. Menengahi serta mengajak kedua kutub ekstrem dalam beragama untuk bergerak ke tengah, kembali pada esensi ajaran agama, yakni memanusiakan manusia.
Upaya menanamkan dan merawat moderasi beragama di media sosial, sambung Hasniati, caranya adalah dengan merespons informasi yang konservatif, adu domba antar-golongan (SARA) dan isu keagamaan dengan paham-paham keberagaman dan video kreatif. Selain itu, aktif membuat konten video keagamaan bertajuk perdamaian. ”Namun, bisa juga dengan cara membuat kutipan ajakan kebaikan dan kasih sayang antar-sesama manusia,” tegas Ketua Gugus Penjamin Mutu Fisip Unhas itu.
Hasniati menambahkan, literasi agama merupakan prasyarat dalam membuat konten moderasi beragama. Ada tiga tahapan yang harus dilalui untuk penguatan literasi agama yang baik: personal competency atau meningkatkan pemahaman agama, comparative competency atau selain paham agamanya dengan baik juga dapat memahami agama orang lain.
”Yang terakhir, collaborative competency atau seseorang harus mampu bekerja sama dengan orang lain tanpa melihat perbedaan agama,” pungkas Hasniati.
Narasumber berikutnya, Pemimpin Redaksi PadasukaTV Yusuf Mars menyatakan, moderasi beragama merupakan konsepsi yang dapat membangun sikap toleran dan rukun guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Moderasi beragama juga merupakan cara pandang atau sikap dan praktik beragama yang mengamalkan esensi ajaran-ajaran agama yang hakikatnya mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan menebarkan kemaslahatan bersama.
”Ada empat hal esensi moderasi beragama. Pertama, cara pandang atau sikap dan praktik keberagamaan. Kedua, terkait dengan pengamalan esensi agama, yang hakikatnya adalah kemanusiaan dan kemaslahatan bersama. Ketiga, semuanya berprinsipkan keadilan dan keseimbangan. Keempat, taat pada konstitusi, pada kesepakatan bersama di tengah kehidupan kita yang beragam,” ujar Yusuf.
Menurut Yusuf, sikap moderasi beragama kini menjadi penting karena ada kalangan yang memiliki cara pandang, bersikap, dan mempraktikkan keberagamaan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kemaslahatan. Misalnya, cara beragama yang eksklusif, segregatif, dan konfrontatif.
”Untuk itu, moderasi agama diperlukan agar cara pandang, sikap keagamaan kita bersifat moderat, tidak melebih-lebihkan, tidak melampaui batas, tidak ekstrem. Jadi, yang dimoderasi bukanlah agama, tapi cara kita berislam,” tandas Yusuf.
Webinar yang dipandu oleh moderator Bobby Aulia itu juga menampilkan dua narasumber lain, yakni: Rahmat Afian Pranowo (fasilitator nasional) dan Edi Sungkowo (Kasi Pendidikan Madrasah Kantor Kemenag Kabupaten Banyumas), serta konten kreator Obin Robin selaku key opinion leader. (*)