Hampir semua survei yang pernah dilakukan, menyatakan demokrasi masih dianggap sebagai sistem terbaik di Indonesia saat ini. Pada saat yang sama, publik juga menilai kritis ihwal bagaimana pelaksanaan demokrasi di Tanah Air.
”Hasil survei Indikator Politik Indonesia Februari 2021 mencatat 71,9 persen responden menyatakan demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik untuk Indonesia, meskipun tidak sempurna,” demikian diungkap Tobirin di acara webinar literasi digital yang dihelat Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, 16 Juni lalu.
Staf pengajar Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto itu mengatakan, Indikakator Politik Indonesia juga mencatat 53 persen responden menyatakan puas dengan pelaksanaan atau praktik demokrasi di Indonesia. Sedangkan sebanyak 42,6 persen menyatakan tidak puas.
“Dalam setahun terakhir tingkat ketidakpuasan mengalami kenaikan tajam dari 16,9 persen pada Februari 2020 menjadi 42,6 persen pada Februari 2021. Fakta ini membuat pertanyaan ’bagaimana merawat demokrasi dan toleransi? Benarkah generasi muda kita tidak toleran?’ menjadi relevan diungkapkan,” kata Tobirin.
Namun, lanjut Tobirin, laporan dari PPM UIN Jakarta 2021 menyebutkan bahwa sikap toleransi mahasiswa sangat rendah (5,27 persen), rendah (24,89 persen), tinggi (49,83 persen), dan sangat tinggi (20,00 persen). Sedangkan perilaku toleransi mahasiswa sangat rendah (1,14 persen), rendah (10,08 persen), tinggi (17,89 persen), sangat tinggi (70,89).
Demokrasi dan toleransi di Indonesia, menurut Tobirin, masih menyisakan harapan. Hal ini juga dapat dijumpai pada laporan Harian Kompas Juni 2021 yang menyebutkan masyarakat sudah toleran menerima perbedaan 61,7 persen, tidak toleran 31,5 persen. Toleransi melekat 40,1 persen, dan toleransi harus dibentuk 58,8 persen.
”Merawat toleransi sebagai inti dari demokrasi, saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama, tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu, melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan negara atau pemerintah,” jelas Tobirin.
Dengan judul paparan ”Menyemai Demokrasi dan Toleransi di Media Sosial”, staf pengajar Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Taufiqur Rachman bicara soal budaya partisipasi. Menurutnya, masyarakat berada pada transisi era media massa ke era internet, dan dari kecenderungan sebagai pengamat pasif menjadi partisipan aktif.
”Kecenderungan kita untuk menerima dan mencari informasi yang kita sukai dan sesuai dengan sudut pandang kita masing-masing akan berpotensi menjebak kita masuk dalam gelembung penyaring (filter bubble) atau lingkaran informasi yang sempit,” ujar Taufiqur mengutip kata-kata Eli Pariser, penulis buku terlaris ”Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You”. Webinar yang dipandu oleh moderator Dannys Citra itu juga menampilkan Aditia Purnomo (Penulis Lepas), Ismita Putri (Kaizen Room), dan Debi Glenn selaku key opinion leader.