Keunggulan media digital dalam hal kecepatan dan kemudahan berkomunikasi membuat media ini diandalkan dalam segala aspek kehidupan. Salah satu aspek yang juga memanfaatkan media digital tersebut ialah bidang keagamaan atau kepercayaan.
Kini, telah banyak pemuka agama dan organisasi keagamaan memanfaatkan media baru sebagai medium untuk menyebarkan ajaran agama di dunia maya. Keadaan ini pun dimanfaatkan oleh khalayak untuk mendalami ajaran agama dengan segala fitur yang tersedia di media baru, baik situs, aplikasi, forum serta media sosial.
Dosen Pascasarjana Administrasi Publik FISIP Universitas Mulawarman, Bambang Irawan mengatakan, dari hasil penelitian UIN Jakarta diketahui 58 persen anak muda lebih suka belajar agama melalui sosial media seperti Youtube atau Instagram.
”Namun, tak banyak anak muda yang mengenal organisasi keagamaan, dan cenderung lebih mengenal pendakwah individual yang aktif di dunia maya,” katanya dalam webinar literasi digital dengan tema ”Dalami Agama di Dunia Maya” yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo bagi warga Kota Surakarta, Jawa Tengah, pada Selasa (10/8/2021).
Menurut Bambang, ada banyak koridor untuk belajar agama agar tidak sesat dan terjerumus dalam pemahaman yang sempit. Ia menyebut, narasumber yang dijadikan untuk tempat belajar agama haruslah orang yang ahli dan kompeten di bidangnya. ”Perlu diingat ilmu-ilmu agama itu sangat luas cakupannya,” cetusnya.
Kemudian dari sisi medianya, walaupun menggunakan media sosial untuk belajar agama, namun rujukan suatu tulisan ilmiah harus tetap berupa buku, seperti kitab suci, hadits, buletin dan sebagainya. Selain itu, dalam belajar agama juga perlu adanya guru pembimbing. Karena, buku dan rujukan hanyalah alat dan media saja.
”Untuk bisa menjadikan seseorang benar-benar berilmu, maka harus ada guru (manusia) dalam proses belajar agama,” kata Bambang di depan 250-an partisipan webinar.
Bambang menyampaikan, koridor-koridor tersebut sangatlah penting untuk mengontrol pemahaman agama sekaligus mengantisipasi dampak buruk orang terpapar radikalisme.
Menurutnya, pemahaman radikal itu sendiri berawal dari fanatisme berlebihan. Ia menyebut sikap fanatisme berlebihan merupakan sumber dari tindakan intoleran yang melahirkan berbagai kekerasan yang mengatasnamakan agama. ”Apalagi jika fanatisme itu sudah tersusupi paham ideologi tertentu,” ujarnya.
Bambang mengungkapkan, fanatisme menjadi penyebab keretakan antarumat karena sikap terlalu bersemangat mengklaim kebenaran. Apalagi, jika seseorang memiliki sikap fanatisme sempit, maka yang bersangkutan akan menganggap siapa pun yang di luar kelompoknya adalah kafir.
Narasumber lainnya, Kepala MAN 1 Karanganyar, Lanjar Utami mengatakan, teknologi di era globalisasi telah mengalami kemajuan yang begitu pesat. Berbagai macam media komunikasi bersaing dalam memberikan informasi tanpa batas.
Lanjar mengatakan, ada tantangan dan peluang di era disrupsi teknologi dalam cyber dakwah. Peluangnya yakni kemudahan belajar agama melalui dunia maya. Sedangkan tantangannya, berupa pergeseran perilaku, tradisi, gaya hidup, dan pola keberagamaan dalam masyarakat.
Lanjar menambahkan, derasnya informasi yang bertebaran di media sosial kadang sulit menentukan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Untuk itu, perlu selektif dalam menuntut imu agama di duna maya, termasuk dalam memilih gurunya.
Lanjar menyebut, dalam memilih guru ketika belajar ilmu agama di dunia maya yakni harus melihat dulu aqidahnya dan ilmunya. ”Memilih ahli ilmu untuk menjadi guru dalam mempelajari agama yakni lihatlah akhlaknya,” tegasnya.
Diskusi virtual yang dipandu oleh moderator Nindy Gita itu, juga menghadirkan dua narasumber lain: Konsultan IT & Trainer Robotika, Muhammad Fadhlulloh, dan Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Surakarta, Hidayat Maskur, serta Fashionpreneur Anunk Aqeela selaku key opinion leader. (*)