Kepala MAN 1 Tegal Nurhayati menuturkan, bangsa Indonesia terlahir sebagai bangsa majemuk yang memiliki keragaman budaya dengan latar belakang suku, agama maupun ras yang berbeda-beda dari Sabang sampai Merauke.
Oleh sebab itu, kata Nurhayati, sudah semestinya tiap warga Indonesia yang hidup di tengah kemajemukan itu wajib menjunjung sikap menghormati tanpa terkecuali dan tidak saling merendahkan serta menghina apa pun status sosial dan latar belakangnya.
“Termasuk dalam menjalankan kehidupan beragama, di negara majemuk Indonesia ini kita tidak bisa sekadar menjalankan ajaran agama tanpa disertai sikap tenggang rasa satu sama lain. Kita wajib menjalankan ajaran agama disertai akal sehat, bahwa kita hidup bermasyarakat dengan berbagai perbedaan keyakinan,” kata Nurhayati saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema ”Moderasi Beragama dan Negara Kesatuan Republik Indonesia” yang digelar oleh Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (20/8/2021).
Dalam webinar yang diikuti dua ratusan peserta itu, Nurhayati mengatakan, seorang pemeluk agama tak bisa berpikir dan menuntut agar orang lain menghormatinya sementara ia sendiri tak bisa menghormati pemeluk agama lain. “Kalau mau dihargai, kita harus bisa menghargai orang lain juga. Sikap saling menghargai tak bisa satu arah, begitu pun di media sosial,” kata Nurhayati.
Nurhayati menyoroti fenomena aksi saling mencaci maki membawa agama tertentu melalui media sosial yang berulang terjadi antar warganet di Indonesia. Terutama jika ada postingan informasi tertentu dengan satu simbol agama di media sosial. Komentar warganet pun disesalkan ikut terpicu dan saling membawa agama masing-masing sebagai klaim kebenaran.
“Saat terjadi perdebatan di media sosial, seringkali disebut-sebut ‘Kamu agama B tak usah ikut campur agama A’, atau sebaliknya. Hal ini sepatutnya tak perlu terjadi. Menyikapi suatu pandangan, kita harus saling memberi ruang orang berbeda agama mengemukakan pendapat berdasar keyakinannya, karena semua agama mengajarkan kebaikan,” ucap Nurhayati.
Maraknya aksi saling hujat di media sosial itu, lanjutnya, tak perlu terjadi ketika orang memahami apa yang disebut moderasi beragama. “Moderasi beragama mengajak kita bersikap kritis, tidak terlalu keras dan tidak terlalu lembek terkait pandangan agama. Mengajarkan kita untuk berada di jalan tengah, menjalankan ajaran kebaikan agama, tidak ke kanan dan tidak pula ke kiri,” tegas Nurhayati.
Ibarat kereta, sambung Nurhayati, dalam kehidupan beragama di masyarakat majemuk ini kita hanya berbeda rel dengan orang lain, tapi tujuannya sama untuk kebaikan. Jadi, tak boleh saling ganggu satu rel dengan rel lainnya,” ujar Nurhayati.
Merujuk Imam Masjid New York Shamsi Ali, Nurhayati menjelaskan moderasi beragama sebagai komitmen kepada agama apa adanya, tanpa dikurangi atau dilebihkan. “Jadi agama dilakukan dengan penuh komitmen, dengan mempertimbangkan hak-hak vertikal atau ubudiyah dan hak-hak horizontal atau ihsan,” tegasnya.
Nurhayati pun setuju pemikiran Anis Malik Thoha yang mendefinisikan bahwa muslim moderat adalah seorang muslim yang memenuhi islamic prinsiple wassatiyah (prinsip moderasi dalam islam) antara lain tidak ekstrim kanan maupun kiri.
“Moderasi beragama penting untuk mengelola dan menjaga kemajemukan bangsa agar dapat menjadi kekuatan dan potensi yang dapat didayagunakan untuk kemajuan peradaban, bukan malah jadi pemicu disintegrasi bangsa. Kemajemukan beragama penting dijaga agar eksistensi bangsa ini tak terancam dan cita-cita nasional terwujud,” kata Nurhayati.
Narasumber lain webinar itu, Konsultan Media Prasidono Listiaji mengatakan agar asyik untuk menuangkan gagasan, berbagi informasi, dan juga silaturahmi ruang digital seharusnya dijaga bersama agar tetap adem.
Prasidono menuturkan, ruang digital sebagai ruang publik selayaknya dunia nyata yang diakses berbagai pengguna berbagai latar belakang budaya, agama, suku dan ras. Sehingga segala tutur, postingan, komentar jangan sampai saling menyinggung.
“Terlebih kita harus mewaspadai bahwa internet bisa menjadi sumber penyebaran informasi paham radikalisme, gerakan terorisme. Banyak disebut sebagian pengguna media sosial pun terpapar radikalisme, sehingga berulangkali terjadi platform media sosial yang menaungi memblokirnya,” kata Prasidono.
Dimoderatori Malfin Rizqi, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber lain, yakni digital marketing strategist Femikhirana Widjaya, dan Perwakilan Kemenag Temanggung Ahmad Sugijarto, serta Asli Joko selaku key opinion leader. (*)