Publik pencinta informasi seputar teknologi tentu belum lupa dengan ‘perang panjang’ soal hak paten ponsel pintar dua raksasa Apple dan Samsung yang berlangsung selama tujuh tahun sejak 2011 hingga 2018.
Upaya Apple yang saat itu menggugat Samsung karena menjiplak properti intelektual mereka akhirnya, pada pertengahan 2018, melahirkan keputusan Apple sebagai pemenang dan pihak Samsung harus membayar ganti rugi setara Rp 7,6 triliun.
Contoh perang paten dua raksasa teknologi dunia itu diungkap Direktur IT ATSOFT Teknologi Andrey Ferrian saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema ”Posting Konten? Hargai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) ” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Jumat (20/8/2021).
“Dari kasus Apple versus Samsung itu kita ketahui bahwa kekayaan intelektual sangat berharga di era digital ini, sehingga perlu pemahaman dan edukasi bagi masyarakat khususnya pengguna media digital,” kata Andrey dalam diskusi yang dihadiri ratusan peserta itu.
Andrey mengatakan, perang paten Apple versus Samsung hanya satu contoh kasus dalam pelanggaran hak atas kekayaan intelektual di abad modern ini. “Kasus-kasus pelanggaran kekayaan intelektual yang juga tak bisa dikesampingkan dan perlu diperhatikan mereka yang gemar memproduksi konten digital adalah soal hak cipta,” tutur Andrey.
Andrey pun mengutip data yang pernah disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Johnny G Plate awal tahun 2021 ini. Andrey mengungkapkan, sepanjang tahun 2020 Kominfo pun telah melakukan take down terhadap 2.859 konten yang melanggar kekayaan intelektual.
“Sementara pada tahun 2021 yang baru berjalan hingga Januari saja, Kementerian Kominfo juga telah memutus akses terhadap 360 konten yang melanggar kekayaan intelektual, termasuk di antaranya melanggar hak cipta,” ujarnya.
Andrey menuturkan, para pengguna digital perlu memahami apa saja celah-celah agar terhindar dari praktik pelanggaran intelektual dalam karya ini. Untuk kasus plagiat dan jenisnya secara umum, lanjut Andrey, bisa ditandai dengan adanya aksi salin ulang materi karya, mengutip tanpa disertai sumber, hingga modifikasi tulisan, foto, gambar, video, tanpa izin dan sepengetahuan pemiliknya atau pembuat karya itu.
“Lalu, solusinya apa? Saat ini muncul platform Creative Commons, sebuah organisasi nirlaba yang tidak bertujuan menggantikan kedudukan hak cipta namun memudahkan pemberian izin hak cipta untuk mendistribusikan, memodifikasi, menggabungkan, atau mengadaptasi karya pembuatnya melalui sistem lisensi,” urai Andrey.
Sehingga, Creative Commons dan hak cipta ini tidak saling bertentangan dalam penerapannya melainkan saling melengkapi dan membuat orang lain tahu aturan saat ingin menggunakan karya seseorang.
“Jenis Creative Commons yang umum digunakan misalnya CC BY, di mana kita boleh memakai karya berlisensi orang lain untuk kepentingan komersial, bahkan menyebarkan, mencampur, menurunkan, serta mengadaptasi karya itu, namun wajib mencantumkan identitas pencipta aslinya,” kata Andrey.
Narasumber lain dalam webinar kali ini, Digital Strategist Enthusiast Ilham Faris mengatakan, di tengah riuhnya konten-konten berseliweran di berbagai platform saat ini, mungkin para pengguna digital ada yang tak menghiraukannya, namun tak sedikit yang memberi perhatian serius secara kritis ketika menemukan adanya indikasi plagiasi.
“Bagaimanapun, HAKI merupakan hak eksklusif yang diberikan suatu hukum atau peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya terhadap karya-karya yang lahir karena kemampuan intelektual. Jadi, perlu benar perlindungan hukum,” kata Faris.
Faris kemudian membeberkan, perlindungan terhadap HAKI jangkauannya luas dan berkait dengan berbagai hal dalam hidup keseharian manusia. Mulai dari lingkup kehidupan teknologi, ilmu pengetahuan, maupun seni hingga sastra.
Dimoderatori Rio Siswanto, webinar ini juga menghadirkan narasumber yakni Kepala Seksi Pendidikan Madrasah Kantor Kemenag Klaten H. Bakri, Fasilitator Nasional M. Ilham Nur Fatah serta Indira Wibowo selaku key opinion leader. (*)