Staf Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) Dian Wisnuwardhani mengatakan, pornografi yang berasal dari kata ’porn’ artinya prostitusi atau pelacuran. Definisi yang diberikan Downs (2005), pornografi adalah segala sesuatu yang secara material baik berupa film, surat kabar, tulisan, foto, atau lainnya yang menyebabkan timbulnya hasrat-hasrat seksual.
”Di era digital, pornografi tak hanya menyebar melalui media konvensional seperti koran, majalah, foto, film (CD), namun dengan mudah pula didapati melalui platform media digital maupun platform percakapan yang memiliki fitur online video,” kata Dian saat menjadi pembicara pada webinar literasi digital bertema ”Lindungi Diri dari Bahaya Pornografi di Dunia Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kota Tegal, Jawa Tengah, Rabu (25/8/2021).
Dian Wisnuwardhani mengatakan, menurut Yuliandre Darwis, pada 2015 Indonesia menempati posisi kedua dalam hal mengakses konten porno di dunia maya, di bawah Amerika Serikat. Ketua Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) itu melanjutkan, 80 persen pemuda Indonesia menyimpan konten pornografi di dalam telepon genggamnya.
”Data lain menyebutkan, pada 2017, 90 persen anak terpapar pornografi internet saat berusia 11 tahun. Sebanyak 299.602 internet protokol Indonesia memuat konten pornografi anak melalui media sosial, 1.022 anak menjadi korban pornografi online di sepanjang 2011-2014, 25.000 aktivitas pornografi anak di internet tiap hari,” sebut Dian di depan 250-an partisipan webinar.
Menurut Dian, kebutuhan manusia ada yang bersifat insting dan biologis, misalnya kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain dan keinginan memiliki keturunan. Proses di mana kebutuhan dari orang-orang tersebut terbentuk dipengaruhi oleh banyak faktor, yang nantinya membentuk tentang bagaimana sikap dan perilaku yang ditampilkan tentang kedekatan hubungan antara laki-laki dan perempuan serta tentang seksualitas.
Dian menegaskan, dampak pornografi pada anak-anak antara lain bisa mengakibatkan terganggunya perkembangan otak anak, kecanduan, ingin mencoba, dan meningkatkan hasrat untuk melakukan tindakan seksual. Untuk itu, peran pendidikan, sekolah, pengetahuan moral, pengasuhan lingkungan di mana orang tersebut berada, termasuk paparan media online dan media cetak yang dikonsumsi orang, menjadi sangat penting diperhatikan.
”Keluarga menjadi pondasi yang utama, pendidikan menjadi kunci, lingkungan sosial menjadi tempat belajar. Cerdaskan diri, lakukan hal bermutu, dan hindari pornografi,” pungkas Dian.
Senada yang disampaikan Dian Wisnuwardhani, staf pengajar Ilmu Administrasi Publik Universitas Hasanuddin Makassar Hasniati menyatakan, pornografi masih merajai konten negatif di internet. Antara Agustus 2018 hingga April 2019, mesin pengais konten negatif (AIS) menemukan sebanyak 898.108 konten pornografi. Ini adalah yang tertinggi dari keseluruhan jenis konten negatif.
Data lain, hasil survei yang dilakukan Kementerian PPPA pada 2017 di delapan provinsi di Indonesia mendapati 97 persen dari 1.600 anak kelas 3-6 SD sudah terpapar pornografi secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan, Katapedia menyebutkan, terdapat 63.066 paparan pornografi yang berasal dari mesin pencari Google, media sosial, dan situs-situs daring lainnya.
Hasniati mengatakan, pornografi dan eksploitasi anak di dunia maya sudah terjadi sejak media digital (sosial) itu lahir. Beberapa kasus yang sering kali terjadi di antaranya: ekploitasi secara seksual untuk tujuan komersial, eksploitasi seksual online, prostitusi online, tampilan materi ekspolitasi kekerasan seksual, perdagangan anak untuk tujuan seksual, dan anak menjadi korban prostitusi.
Penyebab kerentanan anak mengalami eksploitasi seksual di ranah online, menurut Hasniati, karena arus informasi melalui teknologi digital di dunia semakin bebas sehingga memudahkan predator anak menggunakan internet dan melewati batas negara.
”Selain itu, juga adanya gap pengetahuan tentang internet (digital literasi) antara orangtua dan anak, situs yang menyajikan konten pornografi di internet, kedekatan anak dengan gadget, kemudahan transaksi keuangan melalui online, serta banyaknya iklan terselubung mengandung konten pornografi,” sebut Haniati.
Cara mengatasi kecanduan pornografi, Hasniati memberikan saran agar memblokir akses, menghacurkan koleksi pornografi, pasang aplikasi filter pornografi, mematikan akses internet, isi waktu dengan kegiatan positif seperti olahraga dan kegiatan bermanfaat lainnya.
”Kewajiban diri dan keluarga, termasuk dari bahaya pornografi: didik mereka menjadi pribadi yang beradab, bekali keluarga dengan ilmu, ajak keluarga melakukan ketaatan, larang keluarga melakukan maksiat, bimbing keluarga untuk selalu mengingat Allah SWT,” jelas Hasniati.
Diskusi virtual yang dipandu moderator Sisca Septiyani itu, juga menghadirkan narasumber: Suryanto (Pengawas Madrasah Kantor Kemenag Kabupaten Grobogan), H. Tohari (Kasi Pendidikan Madrasah Kantor Kemenag Kota Tegal), dan seniman tari Mila Rosinta selaku key opinion leader. (*)