Director Marcomm Perguruan Islam Al Izhar Alfarisi Arifin menyebutkan, ada sejumlah pandangan yang menjelaskan faktor-faktor yang berpotensi membuat sebuah kebudayaan bisa punah atau tidak muncul dalam gerak peradaban zaman lagi.
Berkaca dari Indonesia, kata Arifin, faktor-faktor itu di antaranya ketika budaya sudah mulai banyak ditinggalkan pengikutnya atau pelestarinya.
“Budaya itu ditinggalkan karena berbagai sebab. Mulai alasan ekonomi, perubahan tradisi, juga karena soal waktu,” terang Arifin saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema “Promosi Budaya Indonesia Melalui Budaya Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Rabu (25/8/2021).
Dalam webinar yang diikuti 278 peserta itu, Arifin mengungkapkan, budaya juga bisa punah dan ditinggalkan karena jarang sekali ada pekerja budaya yang bisa hidup mapan dan sejahtera, apalagi kaya secara ekonomi. “Ini terjadi karena ‘pasar’ atau masyarakat penikmat budaya itu lebih memilih budaya lain, dengan alasan harga, waktu atau kepuasan yang didapatkan,” jelas Arifin.
Selain itu, ada pula pendorong karena generasi milenial saat ini mengalami perubahan preference yang memilih kebudayaan-kebudayaan dalam tren global yang berkembang di luar. Yang diketahui dari banjirnya arus informasi dari berbagai platform digital yang kian mudah diakses. “Budaya bisa punah juga karena ada image ‘kuno’, sehingga tidak mengalami regenerasi dan akhirnya terputus pelestariannya di tengah jalan,” tuturnya.
Indonesia, lanjut Arifin, memiliki banyak ragam kebudayaan yang satu sisi memiliki kelebihan tentang kekayaan sebuah kultur masyarakat. Namun di sisi lain keragaman budaya Indonesia yang menbanggakan itu juga memiliki kelemahan yang mesti diwaspadai. Yakni, membuat kita terlalu lemah dalam membatasi masuknya budaya luar.
“Masih banyak orang Indonesia yang hidup dan tinggal di luar negeri tidak bersatu dalam misi bersama mempromosikan dan menggemakan budaya lokal yang dimiliki itu,” ujar Arifin.
Padahal, sambungnya, media apa pun bisa dipakai untuk mempromosikan budaya Indonesia keluar. Mulai dari film (digital platform), fashion (designer/export), hingga art (designer/export).
Arifin lalu membeberkan kajian negara seperti Korea, China, Amerika, Brazil dan Jepang dalam supporting budaya lokal mereka. Misalnya Pemerintah Korea membantu mendorong banyak industrinya untuk bisa dibawa ke kancah internasional. Mulai dari industri otomotif, fashion, kuliner, film, hingga musik.
“Korea hanya memiliki budaya yang ‘monoton’, sehingga mudah untuk didorong,” ucap Arifin. Dari sisi bahasa, Korea hanya memiliki satu bahasa sedangkan Indonesia memiliki 718 bahasa daerah.
“Korea mengadopsi banyak aspek budaya dari kemajuan teknologi dari Jepang untuk suatu saat bisa mengalahkan industri Jepang. Tapi hanya untuk memperkaya budaya Korea mereka,” urai Arifin.
Narasumber lain dalam webinar, Kasi Pendidikan Madrasah Kantor Kemenag Brebes Imam Gozali dalam paparannya mengungkapkan, bentuk-bentuk identitas kebudayaan Indonesia sangat beragam. Identitas bangsa Indonesia itu terbentuk dari bermacam nilai-nilai kultural suku bangsa yang ada di setiap daerah.
Dari nilai-nilai kultural tersebut kemudian dihimpun dalam satu kesatuan yang akhirnya membentuk satu identitas nasional bangsa Indonesia. “Indonesia memiliki beragam bentuk budaya identitas, mulai bahasa persatuan Indonesia, bendera negara Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, lambang negara Garuda Pancasila, semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika, dasar falsafah negara Pancasila, konstitusi negara UUD 1945, dan bentuk negara NKRI,” kata Imam.
Webinar yang dimoderatori Zacky Ahmad ini juga menghadirkan narasumber lain, yakni Sub Koordinator Perencana Data dan Informasi Kanwil Kemenag Jateng Ahmad Faridi, penulis sekaligus Co- Founder Akademia Virtual Media Muawwin, serta Woro Mustiko selaku key opinion leader. (*)