Masyarakat Indonesia era digital ditandai semua aspek kehidupan warganya tidak terlepas dari penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Selain itu, juga terjadi pergeseran pola pola pikir, pola sikap dan pola tindak masyarakat dalam mengakses dan distribusikan informasi. Perubahan tersebut perlu disikapi secara bijak dan hati-hati supaya tidak terjadi kecanduan digital yang berisiko merusak fisik dan mental.
“Masyarakat digital atau digital society adalah realitas hidup abad ke-21 di mana manusia dalam berbagai sektor kehidupannya terpaut dengan ITC dan teknologi digital. Masyarakat Indonesia semakin mudah mengakses informasi melalui berbagai platform teknologi digital yang menawarkan inovasi fitur dari medium komunikasi yang kian interaktif,” ungkap Nurhayati, Kepala MAN 1 Tegal, saat menjadi narasumber webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Kamis (30/9/2021).
Kecanduan digital merupakan sebuah perilaku yang menyebabkan keterikatan atau ketergantungan pada teknologi yang memiliki dampak negatif terhadap individu.
Disebutkan, dampak fisik akibat kecanduan digital terjadi gangguan pada mata, sakit leher, bahu atau bagian tubuh lain. Jika sudah parah bisa terjadi infeksi otak karena radiasi, infeksi sendi, infeksi karena bakteri coli yang ada pada layar serta kurang tidur.
Sedangkan dampak psikis kecanduan digital menjadikan seseorang mudah marah dan panik serta mengalami FOMO (Fear of Missing Out) yaitu ketakutan akan ketinggalan berita-berita terkini di sosial media maupun ketinggalan update sesuatu yang terbaru.
Pecandu digital juga akan terlilit stres, sulit konsentrasi, cemas berlebihan, merasa kesepian karena waktunya habis di depan layar gadget.
Nurhayati lantas menyampaikan cara-cara mengurangi risiko kecanduan digital yaitu matikan notifikasi semua aplikasi, hapus aplikasi yang menyebabkan candu, matikan internet sementara waktu, simpan gadget di tas saat bepergian, melakukan kegiatan yang menyenangkan, ingat dampak penggunaan digital, singkirkan HP saat makan serta jangan bermain gadget saat akan tidur.
Menurut dia, era digital yang mendobrak cara pandang konvensional menjadi super-digital. “Perilaku budaya kita menjadi limbung menghadapi perubahan yang begitu sangat cepat ini,” ucapnya.
Kilas balik Nurhayati menjelaskan sejak revolusi industri pertama yang dimulai tahun 1784 saat ditemukan mesin uap, tenaga air, angin dan matahari. Revolusi Industri 2.0 ditandai energi listrik untuk produksi masal pada tahun 1870.
Kemudian, era Industri 3.0 ditandai teknologi informasi dan elektronika yang diterapkan pada sistem otomatik produksi, dimulai tahun 1969. Selanjutnya Industri 4.0 ditandai maraknya teknologi digital, teknologi wireless dan big data yang secara masif yang terintegrasi dengan kegiatan manufaktur. Era ini dimulai tahun 2000 sampai sekarang.
Gejala-gejala transformasi digital di Indonesia sudah terlihat jelas. Setidaknya ini bisa diketahui dari berubahnya toko konvensional mulai tergantikan model bisnis marketplace.
Taksi atau ojek tradisional posisinya sudah tergeser oleh moda-moda berbasis online. “Saat ini beberapa jenis model bisnis dan pekerjaan di Indonesia sudah terkena dampak (terdisrupsi) arus era digitalisasi,” kata dia.
Ahmad Sultoni selaku Kepala MAN 3 Kebumen yang juga menjadi narasumber webinar bertema ”Adaptasi Empat Pilar Literasi Digital untuk Siswa” kali ini menyarankan warga digital agar memegang netiket atau Network Etiquette yaitu tata krama dalam menggunakan Internet.
“Kita harus selalu menyadari bahwa kita berinteraksi dengan manusia nyata di jaringan yang lain, bukan sekadar dengan deretan karakter huruf pada layar monitor, namun dengan karakter manusia sesungguhnya,” kata dia.
Kompetensi itu sekaligus berguna untuk membentengi diri dari tindakan negatif di platform digital. Dia mencontohkan, seorang gadis gagal magang di Badan Antariksa milik Amerika Serikat (NASA) karena berkomentar kasar di Twitter.
Singkat cerita, NASA menarik kesempatan magang gadis tersebut setelah banyak warganet menangkap layar kata-kata kasarnya, dan menyebarkannya di sosial media dengan tagar NASA.
Inilah perlunya sikap tabayyun atau kroscek. “Dengan melakukan tabayyun maka kita terhindar dari kesalahan dalam mengambil keputusan,” tambahnya.
Dipandu moderator Yade Hanifa, webinar juga menghadirkan narasumber Septa Dinata (Researcher Paramadina Public Policy), Yunadi Ramlan (Pengamat Sejarah dan Budaya), Musta’in Ahmad (Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah) sebagai Keynote Speech dan Fadhil Achyari (2nd Runner Up The New L-Men ont The Year 2020/Analis Ketahanan Ekonomi Kemendagri) sebagai Key Opinion Leader. (*)