Rabu, Desember 25, 2024

Literasi digital benteng pertahankan tradisi kebijaksanaan Indonesia

Must read

Aktivis penggerak budaya dan pemberdayaan masyarakat Imam Baehaqi menuturkan Indonesia dikenal sebagai negara majemuk, multikulturalisme dan demokratis yang berbentuk republik dengan menganut sistem demokrasi Pancasila.

Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat beragam baik dalam wujud tarian tradisional, rumah adat, makanan khas, sampai lagu tradisional kebudayaan Indonesia juga.

“Namun Indonesia kini menghadapi tantangan budaya dalam era digital yang telah melahirkan budaya baru dan intelegensi artifisial dalam arti era disrupsi dan post truth,” kata Baehaqi saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Bermedia Sosial yang Bijak dan Bersahabat” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Jumat (8/10/2021).

Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Baehaqi menilai budaya digital dalam artian keseluruhan sikap dan pola perilaku serta pengetahuan yang merupakan suatu kebiasaan masyarakat dalam dunia digital. Disrupsi digital sebagai era terjadinya inovasi dan perubahan besar-besaran secara fundamental karena hadirnya teknologi digital, mengubah sistem yang terjadi di Indonesia maupun global.

Adapun post truth diartikan sebagai kondisi dimana fakta tidak lagi berpengaruh dalam membentuk opini publik melainkan emosi dan keyakinan personal yang akan menentukan. 

“Jadi hoaks, fake news, dan false news saat ini menjadi sebuah keniscayaan yang harus dihadapi masyarakat di era digital,” katanya.

Baehaqi pun menyoroti gambaran perilaku warganet Indonesia  berdasarkan laporan survei yang dikeluarkan oleh Microsoft bertajuk digital civility index atau DCI pada 2020 lalu. Hasil survei menyebut tingkat keberadaban warganet di Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. 

Lalu pada akhir Februari 2021 Microsoft kembali mengeluarkan data terbaru DCI yang menyatakan Indonesia berada di urutan 29 dari 32 negara yang disurvei skor di Indonesia adalah 76 naik 8 angka dan dari 2019. Semakin besar skor DCI artinya semakin rendah tingkat keberadabannya.

“Artinya dari survei itu, warganet Indonesia haya lebih baik dari Meksiko, Rusia, dan Afrika Selatan di urutan 10 sampai 32,” kata dia.

Oleh karena itu, kata Baehaqi, butuh kecerdasan budaya yang ditumbuhkan. Warganet penting memiliki kapasitas berupa 3 kecerdasan agar tidak terjebak pada zona negatif internet.

“Yang pertama berupa kecerdasan sosial sebagai kemampuan untuk memahami, dan mengelola hubungan sosial dengan orang lain,” kata dia. Yang kedua berupa kecerdasan emosional di mana individu punya kemampuan dalam memahami dan menghadapi emosi diri sendiri dan emosi orang lain. Yang ketiga, kecerdasan spiritual di mana kecerdasan jiwa yang membantu seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh untuk menerapkan nilai-nilai positif.

“Ketiganya merupakan kecerdasan budaya atau kecerdasan interpersonal, sebagai kemampuan untuk memahami, mengelola, informasi,”  katanya.

Baehaqi mengatakan era digital ini menghadirkan tantangan sekaligus manfaat yang sangat besar dan terbuka lebar. 

“Tergantung karakter warganet kita dalam menggunakannya, jumlah warga net atau pengguna internet di Indonesia yang sangat besar adalah potensi besar untuk menciptakan budaya yang bijak dan bersahabat bermedia sosial,” kata dia.

Berikutnya, Dosen KPI UIN Surakarta Abraham Zakky Zulhazmi mengatakan, bermedia sosial yang sehat dan bersahabat bisa dilakukan dengan memahami karakter media sosial itu sendiri.

“Karakter media sosial itu berbasis jaringan antar pengguna (internet) dan media sosial yang memberikan kontribusi terwujudnya ikatan sosial,” kata dia.

Karakter media sosial yang lain seperti pengguna medsos memproduksi konten dan melakukan komunikasi itu berdasarkan informasi. “Dalam medsos arsip informasi tersimpan jadi bisa diakses siapapun, kapanpun sebagai jejak digital,” katanya.

Prinsip utama yang harus dipegang hati-hati di internet karena tidak semua hal bisa kita bagikan. “Internet mungkin adalah ruang tanpa batas tapi sebenarnya memiliki batasan prinsip tegas,” katanya.

Webinar ini juga menghadirkan narasumber dosen Psikologi STIKES Nasional Surakarta Noviana Dewi, Fasilitator Nasional Andika Renda Pribadi, serta dimoderatori Mafin Rizqi juga Stephanie Cecilia selaku key opinion leader. (*)

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article