Jumat, November 29, 2024

Jangan mau sial gara-gara jejak digital

Must read

Harus diakui, seiring banyaknya penghuni – di Indonesia saja tembus 202 juta warganya – jagat internet atau ruang digital kita telah menjadi sebuah ruang peradaban. Betapa tidak. Di sana orang berinteraksi, berkarya, dan menyampaikan beragam aspirasi, juga menyampaikan beragam pendapatnya di ruang bebas tanpa batas.

Apalagi dalam UUD 1945 Pasal 28, kebebasan berpendapat dan menyampaikan pendapat sudah diatur kemerdekaannya dalam menyampaikan di ruang mana pun. Tetapi, apakah berkomunikasi menyampaikan pendapat dan aspirasi di ruang digital sebagai ruang publik yang bebas, juga berarti bebas tanpa batas?

Kalau melihat dinamika netizen +62 mutakhir, kebebasan itu memang makin menggemaskan, bahkan terkesan tak terkendali. Kita lihat tempo hari, artis Yuni Shara memposting foto berbaju kemben ulos Batak. Lalu dikomentari nyinyir: udah umroh berkali-kali, kok bajunya terbuka, kayak kurang kain aja, apa ndak malu?. Ada juga yang koment, ’Kelihatan tuanya juga ya di bagian badan dan tangan, walau mukanya halus’.  

Yuni menjawab santai, ’Keliatan (tua) dong Bu, kan udah 46 tahun. Dan saya tampil apa adanya, nggak dimuda-mudain. Saya sedang makai kain ulos Batak, jadi justru kebanyakan kain ini. Terima kasih perhatiannya. Insha Allah saya tanggung jawab untuk diri saya sendiri, semoga ibu awet muda,” ujar Yuni.

Cerita tentang Yuni Shara yang diserbu warganet itu dibagikan Deniek Iswardani Witarti, PhD, dosen Universitas Budi Luhur Jakarta saat tampil sebagai narasumber Webinar Literasi Digital: Indonesia Makin Cakap Digital yang digelar oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Kabupaten Tegal, 25 Oktober 2021.

Ada juga yang nyinyirin Presiden Jokowi saat membaca nota APBN, 16 Agustus silam dengan baju adat Baduy, dikoment di medsos: ”Cocok tuh, tinggal bawa madu, jongkok di perempatan.” Kebangetan dan kelewatan sebenarnya kebebasan warganet kita dalam menyampaikan ”aspirasi”.

”UU ITE kita memang sudah cukup mengatur ancaman hukumannya. Tapi selama banyak orang belum sadar hukum dan cenderung menganggap enteng berujar demikian, tanpa merasa dosa di medsos, kejadian itu akan terus berulang. Padahal kini, jejak digital amat diincar perusahaan pada para pelamar kerjanya. Pemerintah juga mengincar medsos para pelamar CPNS, dan ikut menentukan penilaian si calon karyawan atau CPNS. Jadi, mestinya jangan sepelekan jejak digital, karena bisa bikin sial. Jaga betul nama baik di jejak digital Anda. Jangan mau sial gara-gara jejak digital,” pesan Deniek serius.

Webinar bertajuk ”Komunikasi Publik yang Cerdas dan Santun di Era Digital” itu diikuti ratusan peserta, dibuka dengan keynote speech oleh Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dan Bupati Tegal Umi Azizah. Dipandu moderator Rara Tanjung dan kreator konten Apriella Arietta sebagai key opinion leader, selain Deniek juga tampil tiga pembicara lain. Yakni, Fachry H. Wicaksana, retail banking transformation; M. Aqib Malik, motivator dan direktur Al Malikir Center, serta Rikka Ifatti Farikhah, founder neswa.id.

M. Aqib Malik menimpali. Bertindak ceroboh di medsos dan membuatnya sial dialami oleh seorang talent di Amerika yang mestinya masuk list peserta magang di NASA. Lembaga antariksa bonafid Amerika itu terpaksa mencoret salah satu peserta magangnya, karena berkomentar kasar di medsos. Nampaknya, netizen rame-rame men-screenshot koment itu, dan rame-rame memviralkan dengan tagar #NASA. Hal itu membuat NASA mencoret sang pemagang karena tuntutan publik. ”Jadi, sekali lagi, hati-hatilah membuat koment atau segala jejak digital dalam berkomunikasi publik di ruang digital. Anda bisa dibuat sial karenanya. Jangan mau itu terjadi pada Anda di kemudian hari. So, jaga betul untuk selalu think before posting,” tutur Aqib Malik, mewanti wanti.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article