Dampak itu mulai tampak. Setelah dijalani hampir dua tahun, program migrasi pembelajaran siswa dari kelas konvensional ke kelas online dari rumah dengan memanfatkan jaringan online smartphone, mulai muncul kekurangsempurnaannya. Dalam pelaksanaan, rupanya bukan semata problem jaringan yang belum maksimal. Tapi juga konten mata pelajaran yang kurang bisa dipahami, karena belum biasa. Juga problem banyak guru yang masih gaptek alias kurang cakap digital dan dampaknya cukup serius.
Riset Kemdikbud sendiri melihat terjadinya learning loss, penurunan kualitas belajar, karena kurangnya penyerapan siswa pada materi pelajaran sampai 33 persen – yang semestinya tidak terjadi. Karena sekarang, dengan digitalisasi, semuanya jadi lebih mudah dan banyak ragam pilihan.
Mengutip pegiat kewirausahaan sosial Yuni Mustani, di ruang digital mau belajar apa saja tersedia lengkap. Banyak platform digital yang menyediakan materi gratis, selain tentu ada yang berbayar. Tapi semua sebenarnya menuntut perhatian dan bimbingan guru dan peran orangtua untuk lebih fokus, agar siswa di rumah lebih nyaman dan berkonsentrasi belajar. Dengan begitu, bisa mereduksi learning loss.
“Buatlah anak lebih serius dengan ruang yang nyaman. Guru juga lebih tampil sebagai fasilitator, memilihkan, pilah-pilih-pandu dalam menemukan materi yang tepat. Juga bijak dan cerdas memilihkan materi yang cocok. Dengan begitu, siswa tetap punya tantangan yang bisa dilakukan dengan merdeka belajar, sekaligus mandiri menemukan pengetahuan dengan caranya yang menyenangkan,” urai Yuni Mustani, saat menjadi narasumber dalam Webinar Literasi Digital : Indonesia Makin Cakap Digital, yang digelar Kementerian Kominfo untuk warga Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Senin, 25 Oktober 2021.
Memasuki dunia digital, bagi pendidikan anak dewasa ini, merupakan suatu keharusan yang tak terelakkan. Ada tidak ada pandemi Covid-19, lanjut Yuni, pendidikan anak tetap harus berhadapan dengan dunia digital. Pandemi hanya mengakselerasi, mempercepat semua menjadi nyata dan tak bisa ditunda-tunda.
“Dan memang, risikonya, peran orangtua dan guru sebagai bagian integral dalam segitiga emas mesti ikut terlibat, karena ruang kelas sekolah berhijrah ke rumah. Semua mesti bersinergi mewujudkan kenyamanan belajar dan saling berkomunikasi yang positif mengkondisikan kelas online semenarik mungkin. Dengan begitu, anak tak jenuh, bosan, dan kurang konsentrasi seperti terjadi hampir dua bulan di banyak tempat,” papar Yuni lebih jauh.
Yuni Mustani tak sendirian mengupas topik ”Transformasi Digital untuk Pendidikan yang Lebih Bermutu” dalam diskusi virtual itu. Acara yang dibuka Kepala Kanwil Kemenag Jateng H. Mustain Ahmad itu diikuti ratusan partisipan dari seantero Kabupaten Brebes.
Dipandu oleh moderator Dhimas Satria bersama koleganya Tya Yuwono, Momspreneur yang tampil sebagai key opinion leader, hadir pula tiga narasumber lain. Mereka adalah Muawwin, penulis dan co-founder Akademi Virtual Media; Kunthi Musflihah Al Abadiyah, SAg, Mpd, pengawas Madya Kanwil Kemenag, Jateng; dan H Amir Mahmud, Mpd, pengawas Menengah Pendidikan Islam, Kanwil Kemenag Jateng.
Selain soal kurangnya konsentrasi dan learning loss yang belum maksimal, menurut amatan Amir Mahmud, soal etika digital dalam belajar juga perlu diperbaiki. Lebih baik kecakapannya dalam bertatakrama di ruang digital. Siswa perlu dipahamkan, kalau mengirim file besar mesti kulonuwun, permisi dulu pada orang yang dikirimi, karena itu memberatkan. Juga biasakan dalam kirim email diberi judul subjek. Jangan menulis pesan kepada guru di WhatsAps dengan capslock alias huruf besar.
”Itu tatakrama sepele, tapi dalam etika ruang digital perlu perhatian. Karena, itu adalah tata krama kesopanan agar kondite siswa baik dan santun,” kata Mahmud.
Kalau anak terbiasa bijak menggunakan beragam aplikasi dan menggunakan sesuai yang dibutuhkan, biasa mericek informasi yang belum tentu benar, dan menjaga kesantunan. Maka, bukan hanya anak yang cerdas dan bijak berdigital bisa kita bentuk di ruang digital, tapi juga siswa yang berkepribadian. Budi pekerti luhur tetap terjaga, tetap cakap bersaing dalam tantangan dunia digital dan dunia nyata yang notabene makin keras tuntutan kompetensinya. ”Jadilah pelajar Pancasilais, yang mengerti dan mengejawantahkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan nyata dan mengedepankan netiket saat berinteraksi di dunia digital,” ujar Amir Machmud, memungkas diskusi.