Makin merajalelanya hoaks atau sebaran berita bohong di ruang maya khususnya melalui media sosial belakangan turut mengacaukan opini liar di masyarakat, tak terkecuali saat pandemi Covid-19 masih melanda.
Penyebaran berita hoaks soal Covid-19 itu tak hanya membawa kerancuan informasi dan kehebohan masyarakat tapi juga menjerumuskan pada perilaku-perilaku yang tak dapat dipertanggungjawabkan.
“Selama pandemi ini, tak sedikit kasus hoaks soal Covid-19 yang meresahkan masyarakat berakhir ke ranah hukum,” kata pengawas sekolah madya PAI Mohammad Faojin saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Transformasi Digital Untuk Pendidikan yang Lebih Bermutu” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Rabu (27/10/2021).
Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Faojin menuturkan meski hukuman penyebar hoaks berat, seperti sanksi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) namun sebaran hoaks dunia maya seolah terus mengalir.
“Padahal dalam UU ITE itu setiap orang yang sengaja menyebarkan berita bohong dan menyesatkan bisa dipidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar,” kata dia.
Faojin membeberkan masih banyaknya masyarakat menjadi korban hoaks karena belum bisa mengenali dan membedakan apa itu misinformasi, disinformasi dan malinformasi yang lalu lalang di ruang maya.
Misinformasi adalah informasi salah, tidak akurat dan biasanya tersebar luas ke orang lain meski tidak ada niat untuk mengelabui orang lain. Adapun disinformasi merupakan informasi yang memang benar salah dan dibuat sengaja untuk menipu atau merugikan orang. Sedangkan malinformasi merupakan informasi benar namun dikemas atau disebar untuk melakukan tindakan yang merugikan bagi pihak lain atau kondisi tertentu.
“Kenali tentang gangguan informasi ini sehingga bisa lebih memudahkan kita menyikapi hoaks,” kata Faojin.
Faojin menambahkan dalam menjaga ruang digital perlunya membentengi diri dengan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Pancasila melandasi sikap kita di ruang digital penuh cinta kasih terhadap sesama dengan menghormati agama dan kepercayaanya, menjaga harkat martabatnya, sikap adil dan beradab tidak mendiskriminasinya dan mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan kelompok,” kata Faojin.
Nilai Pancasila di ruang digital juga menjadi panduan saling menghormati dan memberi kesempatan orang lain untuk berekspresi, berdemokrasi dan bergotong royong di ruang digital.
Narasumber lain webinar itu praktisi pendidikan Ahmad Thoha Faz mengatakan, dalam era digital pengguna perlu memiliki intuisi. Sehingga selalu berhati-hati dalam memanfaatkan perangkat dan juga menjalin interaksi sesuai situasi dan ketentuan yang berlaku.
Untuk menjalankan intuisi ini salah satunya dengan menerapkan etika digital. “Intuisi sebagai gagasan atau ide yang hadir berdasarkan naluri, intuisi ini ada saat bawaan lahir namun bisa dilatih,” kata dia.
Thoha menuturkan, dengan mengdepankan etika digital maka berpotensi terhindar menjadi tumbal di era digital. Yang mana penuh informasi berbahaya selain yang bermanfaat.
Webinar itu juga menghadirkan narasumber Staf Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) Dian Wisnuwardhani, researcher Paramadina Public Policy Institute Septa Dinata, dan dimoderatori Bobby Aulia serta Dibyo Primus key opinion leader.