Era digital yang membawa konsekuensi derasnya arus informasi masuk dari luar seperti radikalisme, terorisme dan separatisme merupakan ancaman bagi bangsa ini. Kalangan pelajar sebagai generasi digital perlu memperoleh bekal literasi digital. Ini penting sebagai upaya menangkal paham-paham tersebut agar mereka tidak terpapar.
”Karakteristik dan praktik radikalisme terorisme dan separatisme bisa berupa kebencian, propaganda, agitasi, kekerasan ekstrem, glorifikasi, deprivasi relative, kedangkalan nalar dan disorientasi,” ungkap Rofik Hidayat, Pendidik SMAN 1 Kesesi Pekalongan, saat menjadi narasumber webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu (27/10/2021).
Benteng penangkalnya, kata Rofik, tidak lain adalah Pancasila. Pendidik sangat berperan membentuk profil pelajar Pancasila, yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkebhinekaan global, bernalar kritis, bergotong royong, mandiri dan kreatif.
Kaitannya dengan media sosial yang tidak bisa terpisahkan dari generasi digital, menurut Rofik, di dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial tegas ditanyakan setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan melakukan ghibah, fitnah, namimah dan penyebaran permusuhan.
Selain itu, juga dilarang melakukan bullying, ujaran kebencian dan permusuhan atas dasar suku, agama ras dan antargolongan. Dilarang pula menyebarkan hoaks serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik seperti info tentang kematian orang yang masih hidup.
Larangan lainnya adalah menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan dan segala hal yang terlarang secara syar’i serta menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan waktunya.
Tidak hanya MUI, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) juga sudah mengeluarkan panduan bermedia sosial. Di antaranya, selektif berteman, interaktif bukan pasif, hindari mengumbar kehidupan pribadi, kenali ciri-ciri hoaks, media sosial bukan ruang pameran, swafoto yang informatif, atur privasi akun media sosial, bagikan pandangan politik secara bijak dan santun, wartakan damai dan tampilkan karya positif.
”Dengan menyebarkan konten positif berarti menunjukkan dukungan kepada negara untuk mengatasi potensi ancaman terorisme, radikalisme, ekstremisme dan separatisme,” ucapnya.
Segala tindakan dalam rangka mengatasi ancaman tersebut tetap harus berada di dalam koridor hukum dan HAM serta berlandaskan ilmu pengetahuan. Dengan begitu, tidak akan terjadi eskalasi kecemasan yang dapat membantu tercapainya tujuan penyebaran propaganda.
Narasumber lainnya Muhammad Mustafid selaku Sekretaris Nur Foundation Mlangi Yogyakarta pada webinar bertema ”Literasi Digital sebagai Sarana Menangkal Terorisme, Radikalisme dan Separatisme”, sempat menyinggung mengenai paham radikalisme mulai dari penyebab, dimensi dan tahapan-tahapannya meliputi pemahaman, sikap dan tindakan.
”Penyebab radikalisme adalah faktor ideologi, faktor ekonomi, politik dan faktor sosial,” jelasnya.
Mustafid setuju ditingkatkannya literasi digital. Dengan terbentuknya perspektif budaya Pancasila diharapkan generasi muda maupun peserta didik mampu mengidentifikasi paham radikalisme. Harapannya pula tercipta iklim yang kondusif serta terbentuk atmosfer keluarga dan lingkungan yang jauh dari radikalisme.
Dipandu moderator Dimas Satria, webinar juga menghadirkan narasumber Ziaulhaq (Teacher at Global Islamic School 3 Yogyakarta), Ahmad Ardabili (Kepala MA Dr Ibnu Mas’ud Wiradesa Pekalongan), Riswadi (Bupati Kabupaten Pekalongan) sebagai Keynote Speech, Ganjar Pranowo (Gubernur Provinsi Jawa Tengah) sebagai Keynote Speech dan Safira Hasna (Wakil II Mbak Jawa Tengah 2019) sebagai Key Opinion Leader.