Oleh: Kartika Soekarno
Putri Presiden Indonesia Bung Karno menanggapi tulisan tentang perang propaganda yang dilancarkan terhadap Bung Karno (The Guardian, 7 November 2021)
Ayah saya, Soekarno, presiden terpilih pertama Indonesia, dimasukkan ke dalam tahanan rumah pada Maret 1967 beberapa hari setelah saya lahir. Dia berusia 67 tahun. Pada bulan-bulan sebelumnya, telah terjadi pertumpahan darah di negara di mana dia kehilangan banyak teman dan sekutu terpercayanya.
Setahun sebelumnya, dia mengirim ibu saya, yang sedang mengandung saya, ke Jepang, tanah airnya, menasihatinya untuk kembali ke Indonesia ketika situasinya membaik.
Itu tidak pernah terjadi. Tiga tahun kemudian, pada tahun 1970, saya melihat ayah saya untuk pertama kalinya, di ranjang kematiannya. Ibu saya dan saya tidak diizinkan untuk kembali ke negara itu dan kami telah tinggal di Prancis.
Ayah saya meninggal beberapa jam setelah pesawat kami dari Paris mendarat. Karena pemerintahan lalim dari presiden kedua – Jenderal Soeharto – saya tidak dapat melihat ayah saya hidup, meskipun ibu saya telah mencoba berulang kali untuk masuk ke Indonesia.
Saya sekarang berusia 54 tahun dan masih menderita pedih yang mendalam memikirkan tahun-tahun kesepian ayah saya di bawah tahanan rumah, ditolak perawatan medis dan kunjungan keluarga, karena Soeharto tidak ingin mengambil risiko dengan memberinya kesempatan untuk berbicara.
Soeharto telah menguasai media massa dan ayah saya, yang suaranya sering terdengar di radio, dibungkam. Suaranya begitu diredam sehingga dia tidak bisa lagi berkomunikasi dengan anggota keluarganya sendiri.
Setelah Perang Dunia Kedua, kita dapat berargumen bahwa kolonialisme di Indonesia telah digantikan oleh imperialisme AS dan Inggris. Mereka melihat gerakan Non Blok, di mana ayah saya adalah pendirinya, sebagai ancaman bagi pembangunan imperium dan kepentingan bisnis mereka.
Pemerintah AS menolak untuk melihat perbedaan antara nasionalisme dan komunisme. Pemerintah Inggris menginginkan penggulingan ayah saya karena kepentingan bisnis Inggris, seperti yang dilakukan Amerika dan sekutu mereka di wilayah yang kaya akan sumber daya alam (Papua Barat memiliki tambang emas terbesar di dunia).