Pendapat pengamat komunikasi media Nadirsah Hosen tak keliru. Meski di era serba digital, di mana sumber informasi berlimpah tak terbatas di ruang digital, tetapi tingkat literasi masyarakat kita masih rendah namun dengan tingkat emosi tinggi.
”Hal ini membuat kebiasaan para netizen Indonesia, yang populasinya – menurut data We Are Social 2020 – menembus 202 juta terkoneksi internet, di mana 170 juta di antaranya aktif bermedsos sampai 3,5 jam sehari, susah dikendalikan kebiasaan buruknya. Yakni, sering sharing tanpa saring. Ini yang membuat ruang digital kita banjir hoaks,” papar Murniandhani Ayusari, mengutip pendapat Nadirsah, saat content writer dari Jaringpasar Nusantara.id itu menjadi pembicara dalam webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Kota Semarang, 17 November 2021.
Webinar yang mengupas topik ”Bijak Bermedia Sosial: Jangan Asal Sebar di Internet” itu dibuka oleh Presiden Joko Widodo dengan keynote speech-nya, dilanjut pesan dari Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi. Dipandu moderator entertainer Boby Aulia, selain Murniandhani tampil juga tiga pembicara lain: M. Fathikhun, dosen Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Al Ghazali, Cilacap; Ahmad Ramdhon, dosen Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret, Surakarta; dan Rizqika Alya Anwar, head operator PT Cipta Manusia Indonesia/fasilitator Kaizen Room. Ikut bergabung Adinda Daffy, presenter TV, yang tampil sebagai key opinion leader.
Murniandhani menambahkan, banyak orang saat berinteraksi di media sosial tanpa sadar menjadi distributor penyebar hoaks. Itu terjadi karena mereka tak memikirkan dulu apakah informasi yang disebarnya itu benar atau tidak. Di situ pangkal masalahnya, karena yang terjadi berbeda dengan distribusi informasi yang dilakukan media massa mainstream pada masa lalu.
Dulu, distribusi informasi hanya dilakukan oleh pers dengan menyebar hasil kerja jurnalis yang bekerja berdasar kode etik dan keseimbangan meliput dari dua sisi (cover bothside). Akurasi kebenaran berita juga sangat penting.
Sekarang di era digital, lanjut Murniandhani, semua warga digital bisa menjadi ’wartawan’ yang memproduksi, menyebar, sekaligus juga mengonsumsi informasi (prosumer) di ruang digital di beragam medsos, tanpa memperhatikan etika dan hanya memburu kecepatan saja.
”Kalau ada kesalahan, baru muncul berita susulan untuk meralatnya. Itu yang kini terjadi. Makanya, harus disadari, menghormati etika saat menjadi kreator konten dan distributor informasi akan menjadi antibodi yang mujarab dalam menangkal beredar luasnya hoaks di ruang digital secara masif,” urainya.
Masih menurut Murniandhani, di jagat digital, informasi itu ibarat virus. Untuk melindunginya, butuh antibodi yang mujarab, yakni dengan vaksin tepat bernama etika. Ini berlaku, baik saat kita tampil sebagai produsen maupun distributor, atau saat menjadi konsumen informasi agar tak mudah terpapar virus hoaks yang tak terkendali. Apa isi etika yang wajib dijaga?
Kata Murni, saat membuat informasi jangan berdasar prasangka, dan yakin yang ditulis bukan hal bohong. Jangan merendahkan martabat orang. Jangan mencampur fakta dan opini, dan terapkan asas praduga tak bersalah. Kalau ternyata berita salah, segera ralat dan minta maaf. Saat menjadi distributor, jangan asal sebar. Yakini dulu kebenaran dan sumber beritanya akurat.
”Berikutnya, hanya menyebar informasi yang bermanfaat. Kalau ragu akurasinya, stop jangan di-share. Pikir berulang sebelum posting. Dan, saat mengonsumsi, jangan panik, baca tuntas informasinya dan bersikap kritis. Cek fakta dan informasinya dengan informasi pembanding agar bijak dan tak emosional dalam mencerna informasi,” rinci Murni, lebih jauh.
Menyambung diskusi, pembicara M. Fathikun mengatakan, bagi netizen Indonesia, Pancasila mengajarkan bahwa bergaul di ruang digital yang tanpa batas, mengharuskan kita siap berhadapan dan mengembangkan sikap toleransi dengan pengguna internet yang berjuta orang dengan beragam kepentingan.
”Karena pola pemikiran tak sama dan penyikapan pada suatu isu tak bakal sama, jangan mudah bersikap unfollow pada akun yang tak sepaham. Hal itu akan membuat Anda kerdil dan terkungkung filter buble dan echo chamber. Menjadikan Anda terbelenggu dalam komunitas yang seolah nyaring dan banyak warganya, tapi hanya berpendapat sepaham. Kalau ada yang beda pemahaman, langsung diblok,” tutur Fathikun.
Kondisi tersebut, lanjut Fathikun, pada gilirannya membuat Anda menjadi netizen yang tak bisa menerima pendapat di luar komunitas yang beragam dan menjadi pribadi yang berpikir seragam. Ini buruk dalam interaksi dinamis di ruang digital, dan akan mudah menjadi sasaran hoaks. Jadi, waspadalah!” saran dosen UNU Al-Ghazali Cilacap itu.