Selasa, November 26, 2024

Lingkaran setan perundungan digital, pahami budaya perkuat literasi

Must read

Kasus-kasus perundungan di ruang digital semakin banyak ditemui, dan itu terjadi di hampir semua platform. Fenomena perundungan siber bukan hal baru, namun di era yang komunikasinya semakin mudah, perbuatan perundungan seakan terfasilitasi. Hal itu disampaikan oleh Jota Eko Hapsoro, CEO Jogjania.com, saat mengisi webinar literasi digital untuk masyarakat Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Kamis (18/11/2021).

Perundungan di ruang digital terjadi mulai dari hal yang paling dianggap sepele seperti bercanda hingga perbuatan yang secara terang-terangan mengejek, menghina, yang dilakukan secara berulang-ulang dan menimbulkan rasa tidak nyaman bagi korban. Di ruang digital, siapa pun bisa menjadi pelaku perundungan dan korban perundungan, dan bisa dilakukan secara terbuka maupun tertutup. Dampaknya juga bisa lebih berbahaya, karena dapat tersebar secara masif serta meninggalkan jejak digital yang susah dihilangkan.

“Banyak kasus perundungan siber bermula dari kelengahan dalam menjaga privasi di ruang digital. Sehingga kita harus sadar untuk tidak mudah membagikan informasi pribadi. Jadi selain ada intensi pribadi dari orang lain, aktivitas digital yang dilakukan juga dapat memicu orang lain untuk melakukan perundungan. Menjaga privasi di ruang digital dapat memperkecil risiko menjadi korban perundungan digital,” jelas Jota Eko Hapsoro dalam diskusi virtual bertema “Identifikasi dan Antisipasi Perundungan Digital”.

Dalam survei yang dilakukan oleh APJI dan Survei Polling Indonesia 49 persen warganet pernah mengalami perundungan di media sosial. Sedangkan respons yang dilakukan korban berdasarkan Kata Data 31,8 persen memilih membiarkannya 7,9 persen membalas, 5,2 persen menghapus ejekan, dan 3,6 persen melapor kepada pihak berwajib. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran warganet dalam menghadapi perundungan dengan melaporkan masih rendah. Padahal dampak dari perundungan cukup berbahaya jika dibiarkan.

“Jika telanjur menjadi korban pastikan tidak merasa sendirian dan carilah bantuan. Kumpulkan bukti, dan lakukanlah konsultasi. Kemudian jika mau speak up tetap menghargai privasi pelaku. Carilah proses healing terbaik dan fokus pada hal-hal positif,” jelasnya.

Advokat Dektri Badhiron menambahkan, tindakan perundungan dalam bentuk apa pun seperti pesan teks yang menghina, komentar yang menyakitkan, unggahan konten yang mempermalukan, dan membuat profil palsu untuk mempermalukan orang lain terdapat sanksi hukum dan pidananya.

Dalam konteks penghinaan media sosial, penghinaan terhadap orang lain tercermin pada UU ITE Pasal 27 ayat 3 dengan pidana penjara selama empat tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta.

“Contoh kasus perundungan yang sedang marak adalah cara petugas layanan pinjol yang menagih utang dengan cara tidak etis dan cenderung dan mengarah pada teror yang meresahkan. Penagihan dengan cara yang kasar meneror pengutang, menyebarkan foto pengutang, mendatangi pengutang sambil berbicara kasar dapat digolongkan tindakan perundungan dan jika dilaporkan dapat berurusan dengan hukum,” jelas Dektri Badhiron.

Sementara itu Aina Masrurin, pencipta konten Ceritasantri.id, menambahkan, konten-konten perundungan dapat diminimalisir dengan memahami budaya digital dan meningkatkan literasi digital. Cara mempraktikkannya yaitu dengan membangun budaya antiperundungan melalui konten-konten positif.

“Hindari kata-kata yang merendahkan martabat seseorang meskipun hanya bercanda, tidak membagikan konten yang memuat foto atau video orang lain dalam situasi yang memalukan atau tidak pantas secara norma sosial, serta tidak mengungkap rahasia pribadi seseorang yang berpotensi menjatuhkan martabat orang lain,” jelas Aina Masrurin.

Membuat konten positif dengan berlandaskan nilai Pancasila akan membentuk budaya digital yang aman dan nyaman. Kontrol diri menjadi hal penting agar dapat menggunakan teknologi untuk hal-hal yang bermanfaat, karena jejak digital ibarat CV berjalan yang harus dijaga.

Webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Kominfo hari ini dipandu oleh presenter Nadia Intan juga menghadirkan narasumber lain. Yaitu, Sani Widowati (Princeton Bridge Year Onsite Director Indonesia) dan Dede Fajar Kurniawan (digital marketing strategist) sebagai key opinion leader. Dalam diskusi virtual ini tema diskusi dikupas dengan empat pilar literasi digital, yaitu digital ethic, digital skill, digital culture, dan digital safety.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article