Benih radikalisme di era digital perlu diwaspadai oleh generasi milenial, karena bisa tanpa disadari merasuk dan menjadi pandangan yang membahayakan.
Redaktur Betanews.id Ahmad Muhlisin menuturkan, ada hal yang cukup mengejutkan soal cara teroris mencuci otak. Ia merujuk kesaksian mantan penasihat Jamaah Islamiyah (JI) Abdul Rahman bahwa ada tiga tahap jaringan teroris dalam mencuci otak target yang akan direkrut.
”Biasanya akan dimulai dengan membangkitkan nostalgia kejayaan Islam di era kekhalifahan. Pemerintahan Islam terakhir runtuh pada kekhalifahan Ottoman di Turki tahun 1929. Lalu menampilkan tontonan kekejaman Yahudi dan Amerika Serikat, termasuk serangan Amerika di Irak dan Afghanistan serta Penjara Guantanamo untuk memunculkan semangat juang target,” kata Muhlisin, mengutip kesaksian itu, saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema “Antisipasi Radikalisme Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (18/11/2021).
Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Muhlisin mengatakan jaringan teroris dalam mencuci otak juga intens menyampaikan pendalilan dalam Alquran dan Hadis namun sesuai pemahaman mereka untuk menimbulkan keinginan berjihad. ”Dalam pendalilan disampaikan soal hukum, jika tidak bersikap soal jemaah dan terakhir adalah soal mati syahid,” kata Muhlisin.
Untuk mencegah radikalisme dan terorisme itu merasuk di dunia maya, Muhlisin menilai pentingnya penguatan kompetensi literasi digital. Misalnya dalam hal mengakses informasi, kompetensi ini penting dalam mendapatkan informasi dengan mengoperasikan media digital. Lalu dalam hal menyeleksi, kompetensi ini penting dalam memilih dan memilah berbagai informasi dari berbagai sumber yang diakses dan dinilai dapat bermanfaat untuk pengguna media digital.
“Dari kompetensi memahami, pengguna akan diajak memahami informasi yang sudah diseleksi sebelumnya, lalu menganalisis untuk melihat plus minus informasi yang sudah dipahami sebelumnya dan memverifikasi untuk konfirmasi silang dengan informasi sejenis,” ujarnya.
Narasumber lain dalam webinar itu, Mohammad Adnan dari Viewture Creative Solution mengatakan, pengguna digital perlu mengetahui ciri-ciri konten radikal agar tidak terjebak.
”Konten itu biasanya mempunyai prinsip penafsiran ajaran kelompok yang berlawanan dengan tradisi, menggunakan kekerasan yang dianggap benar dalam ajaran kelompoknya, dan menyalahkan serta mencurigai orang atau kelompok lain,” kata Adnan.
Ciri lain konten radikal, biasanya mengandung kata-kata yang memprovokasi dan beritanya palsu yang berisi propaganda radikalisme.
Radikalisme, imbuh Adnan, menjadi paham yang berbahaya karena menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis dan tak mempedulikan aspek-aspek kemanusiaan.
Bahaya jika konten radikal dibiarkan, lanjut Adnan, antara lain munculnya sikap intoleran, menghilangkan rasa saling kasih sayang, merusak persatuan dan kesatuan bangsa, menghancurkan nasionalisme bangsa dan munculnya polarisasi antara pihak yang pro dan kontra terhadap paham radikal di masyarakat.
Webinar yang dimoderatori Dannys Citra itu juga menghadirkan narasumber content writer Luqman Hakim, Kabiro Detik.com DIY Jateng Muchus BR, serta seniman Dibyo Primus sebagai key opinion leader.