Kecakapan budaya dibutuhkan pengguna internet agar dapat memaksimalkan fungsi internet dengan aman dan nyaman. Pengguna harus memiliki kapasitas berupa tiga kecakapan agar tidak terjebak pada zona negatif internet.
Itulah pemancing diskusi yang dilontarkan aktivis penggerak budaya Imam Baehaqi, saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema ”Milenial sebagai Penggerak Literasi Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Kamis (25/11/2021).
Dalam webinar yang diikuti 300-an peserta itu, Imam menyebut tiga kecakapan itu: pertama, kecakapan sosial yakni kemampuan untuk memahami dan mengelola hubungan sosial dengan orang lain. Kedua, kecakapan emosional, yakni kemampuan dalam memahami dan menghadapi emosi diri sendiri dan emosi orang lain. Dan ketiga, kecakapan spiritual, yakni kecerdasan jiwa yang membantu seseorang untuk mengembangkan nilai dirinya secara utuh untuk menerapkan nilai-nilai positif.
”Ketiga kecakapan itu merupakan kecakapan budaya atau kecakapan interpersonal. Yakni, kemampuan untuk memahami mengelola berhadapan dengan emosi orang lain dalam konteks antar budaya,” jelasnya.
Imam menambahkan, untuk bermedia sosial secara positif, kita perlu memiliki sikap berpikir kritis yaitu mampu menilai apakah konten tersebut selaras dengan nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. ”Apakah konten itu kita benar objektif, sesuai fakta, penting dibutuhkan, inspiratif dan bermanfaat? Pertanyaan ini harus bisa terjawab,” kata Imam Baehaqi.
Menurut Imam, pengguna perlu juga bijak dengan meminimalisir aktivitas unfollow, unblock dan unfriend untuk menghindari Echo Chamber dan Filter Bubble. Sebab, algoritma internet merekam perilaku digital kita dalam big data kemudian menyajikan konten yang sesuai dengan personalisasi kita.
“Jadi, kita bisa terjebak dalam Echo Chamber dan Filter Bubble,” tegas Imam. Echo Chamber sendiri merupakan ruang yang seolah-olah ramai dengan beragam komentar, tetapi sebenarnya hanya gaung opini yang seragam. Sedangkan Filter Bubble atau gelembung saringan merupakan ruang yang tersaring dari suara-suara yang tidak sesuai dengan personalisasi kita.
”Hal ini tercipta sesuai algoritma internet yang bersumber dari jejak digital kita,” ungkap Imam. Untuk bermedsos yang positif kita juga perlu mengembangkan gotong royong atau kolaborasi kampanye literasi digital.
Dalam menggerakkan literasi digital, kata Imam, warganet perlu kreatif mengisi ruang digital untuk hal positif dan produktif serta terus belajar meningkatkan kapasitas kemampuan dunia digital dan melakukan digitalisasi aspek-aspek aktivitas baik ekonomi, politik, budaya, dan agama.
“Terus tingkatkan kecakapan literasi digital manfaatkan semua aspek digital dari berbagai platform media sosial untuk konten positif dan produktif,” kata dia.
Narasumber lain dalam webinar itu, praktisi pengembangan website Sumedi mengatakan, milenial sebagai penggerak literasi digital perlu paham keamanan digital sebagai bekal mengenali, mempolakan, menerapkan menganalisis dan meningkatkan kesadaran keamanan digital dalam hidup sehari-hari.
”Sadar keamanan digital itu antara lain sadar pengamanan perangkat digital, mewaspadai penipuan digital, memahami rekam jejak digital dan keamanan digital bagi anak,” kata Sumedi.
Webinar yang dipandu moderator Safiera Aljufri itu juga menghadirkan narasumber CEO Viewture Creative Solution Muhammad Adnan; dosen HI Universitas Budiluhur Anggun Puspitasari, serta Ega Azwika sebagai key opinion leader.