Berpolitik itu mungkin idealnya berpatokan pada “ideologi”. Tapi masalahnya, ideologi itu kadang terlalu rasional, ilmiah dan memerlukan penalaran-panalaran cukup njlimet.
Ya, bayangkan saja, untuk milih partai politik atau calon, maka harus mikir-mikir dulu apa haluan idelogis mereka: liberal, konservatif, progresif, libertarian, sosialis, pragmatis, center-left, center-right, dan seterusnya. Atau yang lebih pusing lagi menggathuk-gathukkan program-program mereka dengan ideologi-ideologi tersebut.
Munculah pilihan lain: identitas. Entah itu yang berbasis agama, suku, ras, gender, dan orientasi seksual.
Berpolitik dengan identitas (politik identitas) ini memang terasa lebih sederhana, dan lebih akur dengan watak-watak asali manusia (human nature). Ia seringkali tidak memerlukan penalaran-penalaran njlimet, ia lebih mengandalkan emosi dan naluri, dan dengan cepat memberi label “kita” dan “mereka.”
“Saya memilih si Gondes karena ia seiman atau sesuku dengan saya.” Kira-kira begitu. Gampang kan?
Politik ideologis dan identitas selalu ada sejak zaman dulu sampai sekarang, baik di negara demokrasi maju maupun masih terbelakang.
Di Amerika dan di sejumlah negara Eropa, politik identitas belakangan juga menguat karena didorong ketakutan oleh serbuan imigran dan terorisme. Di balik retorika populisme dan nativisme di Eropa dan Amerika sebenarnya bersembunyi sentimen identitas ras dan juga agama.
Pembedaan ideologi dan identitas tidak serta merta mengandaikan keunggulan moralitas satu sama lain. Politik ideologis tidak lebih benar dan bermartabat daripada politik identitas dan sebaliknya.
Dalam sejarahnya, misalnya, lakon ideologi komunisme, sosialisme, dan kapitalisme sama-sama memerlukan tumbal sosial, ekonomi, dan nyawa manusia. Tentu saja mereka juga memproduksi kemaslahatan-kemaslahatan tertentu.
Begitu juga, politik identitas bisa brutal. Terutama kalau elemen-elemen politik identitas yang tingkat sensitifnya tinggi bersenyawa dalam situasi tertentu. Misalnya konflik berdarah etno-relijius-nasionalisme di Balkan dan konflik berdarah berbasis agama di Timut Tengah.
Politik identitas bisa juga membawa kemaslahatan. Contohnya, politik identitas yang diusung oleh kaum perempuan, LGBT, dan kelompok-kelompok minoritas lain di AS untuk memperjuangkan persamaan hak-hak mereka.
Bagaimana dengan Indonesia?
Harus diakui beberapa tahun belakangan, denyut politik identitas berbasis agama (Islam) menguat. Terutama sejak Pilpres 2014 yang kemudian menegas dalam Pilkada DKI (Ahok) dan berlanjut di Pilpres 2019.
Banyak yang patah hati atas menguatnya fenomena berpolitik dengan agama tersebut, dan bahkan kemudian memvonis ini tanda-tanda kemunduran atau kematian demokrasi Indonesia.
Saya sendiri, meski tidak sepakat dengan politik identitas berbasis agama (tidak sepakat bukan berarti membenci atau memusuhi lho), menganggap fenomena itu tak terelakkan, untuk tidak mengatakan suatu keniscayaan.
Faktanya adalah Muslim itu mayoritas di Indonesia, faktanya lagi adalah Islam itu membolehkan berpolitik meskipun tidak memiliki rumusan-rumusan konsep dan praktik berpolitik yang jelas. Faktanya lagi adalah setelah dipinggirkan selama Orde Baru, banyak umat Islam Indonesia yang berpendapat bahwa era reformasi yang demokratis menyediakan ruang bagi mereka untuk berpolitik dengan bendera agama. Mereka inilah yang dalam bahasa akademis sering disebut kalangan Islamis.
Konteks internasional pun juga memberi tambahan legitimasi bagi mereka untuk berpolitik praktis. Di Turki, kelompok Islamis berkuasa di bawah kepemimpinan Erdogan. Sementara dalam spektrum politik identitas-agama yang lain, kelompok Hindu-Nasionalis juga menikmati kekuasan di India.
Namun begitu, bukan berarti realitas politik Indonesia menyambut Islam politik dengan mesra. Kinerja elektoral Islam politik di Pileg, Pilpres dan Pilkada sejak era Reformasi begitu-begitu saja. Partai-partai politik yang boleh dikatakan membawakan aspirasi Islam politik (PKS, PBB, PPP) tetap menjadi partai papan tengah atau bawah. Presiden-presiden yang terpilih bukan sosok Islamis atau yang memiliki aspirasi Islam politik. Begitu juga kiranya dengan gubernur, bupati, walikota, anggota DPR dan DPRD.
“… mereka belum menemukan sosok yang cakap membangkitkan dan memboyong gairah keagamaan itu kedalam ajang elektoral.”
Capaian marginal Islam politik ini mungkin cukup mengherankan mengingat menurut berbagai survei, mayoritas Muslim Indonesia semakin agamis dan bahkan semakin banyak pula yang menginginkan penerapan syariah.
Saya tidak tahu pasti jawabannya. Mungkin karena mereka belum menemukan sosok yang cakap membangkitkan dan memboyong gairah keagamaan itu kedalam ajang elektoral.
Atau bisa juga karena kesalehan Muslim Indonesia itu hanya sebatas batiniah-ritual-individual saja dan tidak merambah ranah politik.
Dalam Pilpres 2019, harapan kelompok Islamis bertumpu pada sosok Prabowo. Sebenarnya Prabowo sendiri menurut saya bukan seorang Islamis ataupun memiliki aspirasi-aspirasi Islam. Ia memang dikenal dekat dengan kalangan Islamis sejak di jadi tentara di zaman Orba dulu.
Saya sering mendengar celetukan-celetukan umum yang menunjukkan penolakan terhadap Islam politik, seperti “Agama jangan dicampur politik”, atau “Agama urusan pribadi.” (Kalau tak salah, privatisasi agama Kristen di Eropa yang terjadi sejak ratusan tahun lalu menjadi salah satu pembungkam politik identitas berdasar agama di benua ini sampai sekarang)
Di balik celetukan itu saya mencurigai sebenarnya bersembunyi ketidaknyamanan atau bahkan ketakutan terhadap Islam politik. Dan kalau ini benar, Islam politik di Indonesia menghadapi tantangan psiko-politis yang besar.
Yang terjadi sepertinya sekadar aliansi taktis untuk menghadapi Jokowi yang sejak dari awal tidak punya hubungan mesra dengan kelompok Islamis. Aliansi taktis simbolis ini juga terjadi dalam Pilkada DKI kemarin. Taktis simbolis karena setelah menjadi gubernur, Anies Baswedan tidak menjalankan agenda-agenda Islamis.
Mungkin karena mengaca pada kekalahan Ahok dan sebab-sebab lain, Jokowi dan koalisi partai pendukungnya, kemudian memilih Ma’ruf Amien sebagai cawapres. Jokowi lalu menuai kritik karena dianggap ikut-ikut memainkan kartu politik identitas.
Kartu politik identitas dimainkan baik oleh kubu Prabowo maupun kubu Jokowi dengan risiko masing-masing.
Dukungan kelompok Islamis terhadap Prabowo mungkin hanya memperkeras, tapi tidak memperluas basis dukungan. Pemilihan MA sebagai capres mungkin akan membuat sejumlah pendukungnya menjadi golput.
Orang memilih Prabowo boleh jadi karena mengaggap ia akan memperjuangkan aspirasi-aspirasi Islam, bisa juga karena ia dianggap tegas dan berwibawa.
Orang memilih Jokowi karena hasil kerjanya, sederhana dan merakyat. Tapi bisa juga karena untuk menghalau Islam politik berkuasa di Indonesia.
Ideologi dan identitas sesungguhnya bisa saling bercampur.
Pentagon City, Arlington, VA, 9 Januari 2019