Oleh Eddy Herwanto
Sudah sejak awal tahun untuk mendapatkan barang dan jasa sejenis kita harus mengeluarkan lebih banyak rupiah. Minyak goreng, BBM, cabe, bawang merah, sampai semen dan besi beton harganya terus merayap naik. Terbang juga makin mahal. Sekalipun naik, herannya permintaan tak kendor. Kombinasi cost push (kenaikan harga) dan demand pull (permintaan tinggi) barang dan jasa itu menghasilan inflasi 3,55% (Januari-Mei 2022).
Tingginya inflasi itu membuat pemilik deposito tekor karena bunganya bertahan 1% (BCA misalnya), dan 2,25% (Mandiri) untuk simpanan setahun. Ini akibat Bank Indonesia berusaha menahan suku bunga pinjaman 7 hari (BI 7 Day Repo Rate) tetap 3,5% agar harga kredit perbankan yang mulai diserap sektor usaha tetap single digit untuk modal kerja.
BI juga berusaha mengendalikan nilai tukar rupiah agar pengaruh kenaikan Federal Fund Rate (FFR) yang sudah naik dua kali tahun ini hingga mencapai 1,5% – 1,7% tidak masuk terlalu jauh.
Dulu jika FFR naik, para fund manager yang memegang banyak Surat Berharga Negara (SBN) RI akan mengalihkan investasi portfolionya ke dollar. Keluarnya dana asing dari SBN secara masif dulu bisa merontokkan rupiah.
Beruntung berkat BI membeli SBN yang diterbitkan Kementrian Keuangan untuk membiayai Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) hingga melampaui Rp 900 trilyun, kepemilikan asing di SBN tinggal sekitar 30%.
Kuatnya rupiah juga dipengaruhi surplus transaksi berjalan US$ 0,2 milyar (per Maret 2022), berkat surplus perdagangan luar negeri dari komoditi tambang bernilai tambah, dan kelapa sawit dan akan bertambah per Juni.
Saat pemerimtah berusaha mengendalikan harga dan suplai minyak goreng untuk pasar domestik dengan melarang ekspor CPO dan minyak goreng, surplus perdagangan berkurang. Tapi secara keseluruhan sejak 2021 hingga kuartal I 2022, ekspor CPO dan turunannya tetap menyumbang surplus neraca perdagangan luar negeri.
Di tingkat makro, kerjasama otoritas moneter (BI) dan fiskal (Kemenkeu) tetap diperlukan agar ekonomi yang mulai bangkit sehingga bisa mencatatkan pertumbuhan 5,01 pada kuartal 1 2022 bisa terus berlanjut.
Ekonomi RI termasuk bagus – dengan pertumbuhan moderat dan inflasi rendah – dibandingkan tetangga ASEAN. Turki salah satu anggota G 20, inflasinya mencapai 73%. Rakyat mengeluh sulit berniaga. Dengan kondisi seperti itu, asing sulit masuk untuk menanamkan modal langsung atau ke portfolio surat berharganya.