Kamis, Desember 19, 2024

Jokowinomics: How low can you go?

Must read

Oleh Farid Gaban | Geotimes

Di samping pembangunan infrastruktur fisik, Pemerintahan Jokowi nampak benar terobsesi menggenjot investasi, baik domestik maupun asing. Pemerintahan ini percaya bahwa kedua hal itu akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang akhirnya bisa mensejahterakan rakyat.

Teman saya Dandhy Dwi Laksono menyebutnya sebagai Jokowinomics. Konsep membangun negara lewat infrastruktur dan investasi, yang pada akhirnya (diharapkan) menciptakan kemakmuran dan pemerataan ekonomi, sebenarnya bukan hal baru. Tapi, di era Jokowi konsep ini sangat menonjol direalisasikan.

Dalam soal investasi, misalnya, Presiden Jokowi berkali-kali mengeluhkan ruwetnya perizinan membangun bisnis baru. Ada ratusan peraturan pusat maupun daerah yang pada akhirnya menghambat investasi.

Yang terakhir, pekan ini Presiden Jokowi menyatakan “kalau perlu tak pakai izin” untuk membuka bisnis baru. Presiden meminta para menteri dan kepala daerah “menutup mata” apabila ada pengusaha yang hendak menanamkan investasinya.

Itu menggaungkan pernyataan pada 2016, ketika Presiden Jokowi meminta para menteri merampingkan proses perizinan, termasuk menghapus persyaratan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).

Pernyataan-pernyataan Presiden tadi mencerminkan itikad keras pemerintahnya untuk mendahulukan investasi di atas kepentingan-kepentingan lain. Sayang sekali….Ini sebuah resep menuju malapetaka sosial dan lingkungan.

Apa yang kita bisa bayangkan jika permintaan dan perintah presiden dilaksanakan? Tidakkah ini berarti pemerintah (negara) lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal ketimbang kelestarian alam dan kepentingan sosial orang banyak?

Tidakkah pemerintah (negara) sedang melucuti kekuasaannya sendiri untuk melindungi warga negara dan alam dari ganasnya investasi/bisnis yang bertumpu pada uang/modal?

Obsesi pada investasi sudah membuat pemerintah “menutup mata” terhadap pelanggaran hak asasi manusia: prosekusi terhadap petani dan nelayan yang memprotes bisnis merusak di daerahnya.

Ruwetnya izin proyek bisnis memang perlu disederhanakan. Tapi, kita perlu membedakan setidaknya dua aspek dalam soal perizinan.

Aspek pertama adalah administratif. Ini terutama melibatkan birokrasi yang malas, tidak efisien, ingin dilayani, dan haus uang pelicin (korup). Aspek ini jelas perlu disederhanakan.

Aspek kedua adalah aspek substantif. AMDAL masuk kategori ini. Setiap proyek bisnis, bahkan jika itikadnya mulia, harus ditimbang masak dampaknya dari berbagai dimensi (sosial, lingkungan, budaya dan sebagainya). Tak hanya soal keuntungan finansial-ekonomi jangka pendek tapi maslahat atau mudharat dalam jangka panjangnya.

AMDAL adalah alat bagi pemerintah/negara untuk melindungi kehidupan sosial rakyatnya dan menjaga kelestarian alam. Ini aspek perizinan yang tak boleh dihapus.

Justru harus diperkuat dan diperbaiki kualitasnya. Selama ini banyak AMDAL proyek bisnis besar seperti pertambangan, reklamasi teluk, pabrik semen dan perkebunan monokultur (sawit) dibuat asal-asalan. Itu telah terbukti memicu bencana dan keresahan sosial di banyak tempat.

Dalam empat tahun terakhir, Pemerintahan Jokowi sudah menelurkan 15 lebih paket deregulasi ekonomi, yang pada intinya melonggarkan (liberalisasi) perizinan investasi. Termasuk membolehkan investor asing masuk ke bisnis-bisnis yang sensitif, dengan kepemilikan perusahaan sampai 100%.

Jika Presiden sampai sekarang masih mengeluh soal perizinan, dan minta aparat pemerintah “menutup mata”, tidakkah itu artinya beliau sendiri mengakui telah gagal melakukan reformasi birokrasi, gagal membuat kemudahan dalam aspek administratif?

Tapi, soal lebih mendasar sebenarnya terletak pada paradigma pembangunan yang dianut pemerintahan ini. Benarkah investasi merupakan prasyarat terpenting dan satu-satunya menuju kesejahteraan?

Sebagian anggapan bahwa infrastruktur fisik dan investasi merupakan jalan seharusnya dan satu-satunya menuju kesejahteraan negeri adalah mitos belaka.

Dalam berbagai kasus, banyak negara atau daerah berlomba keras menggelar karpet merah bagi investor. Mereka bersaing satu sama lain untuk merendahkan standar perlindungan alam dan sosial demi memikat pemodal.

Makin hari makin ketat persaingannya. Banyak negara dan daerah berlomba merendahkan martabat alam dan manusianya.

How low can you go, Jokowinomics?

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article