Catatan Farid Gaban
Belakangan ini ramai dibicarakan peringatan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) agar Indonesia berhat-hati terhadap investasi dari China/Tiongkok. Salah satu alasan: investor China punya standar rendah dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Peringatan KPK itu berkaitan dengan menguatnya investasi Tiongkok di Indonesia serta keterlibatan Pemerintahan Jokowi dalam inisiatif OBOR (One Belt One Road) yang dipelopori Tiongkok.
Meski aktual dan relevan, peringatan KPK itu mudah tergelincir memperkuat sentimen rasial terhadap Tionghoa, yang bersifat laten dan bahkan menguat belakangan ini.
Menurut saya, investasi dari Tiongkok itu tidak lebih baik atau lebih buruk dari negeri lain. Ancaman kolusi-korupsi juga terjadi pada investasi Amerika (ingat Freeport).
Demikian pula ancaman debt-trap (jebakan utang), yang juga bisa terjadi jika kita berutang terlalu banyak pada lembaga multi-lateral seperti Bank Dunia.
Atau pengaruh politik. Tidak ada makan siang gratis, kata orang. Bantuan atau investasi asing juga pada kadar tertentu mensyaratkan kepatuhan politik. Itu tak hanya berlaku pada investasi Tiongkok.
Pengaruh Amerika sangat dominan terhadap politik negeri kita di masa lalu oleh tingginya bantuan dan investasi AS.
Menurut saya, kita harus beranjak lebih jauh dari sekadar bertanya apakah investasi Tiongkok itu lebih baik atau buruk ketimbang investasi dari negara lain.
Pertanyaan lebih mendasar: apakah kita memerlukan investasi asing? Tak peduli dari Tiongkok, Amerika, Jepang, Jerman, Saudi atau Turki?
Diskusi tentang kebijakan ekonomi kita didominasi oleh wacana tentang pentingnya investasi asing. Bahkan sampai sekarang.
Tapi, sekali lagi, apakah investasi asing itu memang penting?
Wacana pro dan kontra investasi asing tidaklah baru. Setelah menjatuhkan Orde Lama, Soeharto mencampakkan konsep kemandirian ekonomi ala Bung Karno.
Orde Baru tak hanya menerima tawaran utang dari Bank Dunia, tapi juga menggelar karpet merah investasi Jepang dan Amerika Serikat.
Kebijakan Orde Baru tadi sempat membangkitkan protes keras anti-Jepang serta memicu kerusuhan besar (Malapetaka 15 Januari 1974). Tapi, dominasi alam berpikir pro-investasi terus berlanjut di lingkungan pemerintah.
Pada 1988, Rezim Soeharto mengeluarkan paket kebijakan ekonomi legendaris, disebut Paket Oktober (diterbitkan pada Oktober 1988). Orde Baru meliberalisasi keuangan (memberi kemudahan mendirikan bank), yang pada akhirnya membuka peluang kemudahan investasi tak hanya domestik, tapi juga asing.
Paket Oktober merupakan tonggak besar dalam liberalisasi ekonomi dan investasi di Indonesia.
Perkembangan ini tak lepas dari menguatnya wacana globalisasi ekonomi yang getol dipromosikan oleh Amerika Serikat (Ronald Reagan) dan Inggris (Margaret Thatcher) pada era itu.
Thatcher, yang berkunjung ke Indonesia pada 1985, mengklaim bahwa ekonomi pasar (kapitalisme) adalah satu-satunya sistem yang bisa diandalkan; tak perlu perdebatan lagi.
Thatcher punya slogan terkenal: TINA (“there is no alternative”); tak ada alternatif di luar kapitalisme.
Pandangan Thatcher yang disokong kuat oleh Bank Dunia dan IMF menjadi wacana dominan tak hanya di sekolah-sekolah ekonomi tapi juga dalam kebijakan publik bertahun-tahun kemudian.
Meski suara anti investisasi asing selalu riuh di media dan ruang publik, kebijakan ekonomi dari pemerintah ke pemerintah cenderung terus memperluas liberalisasi ekonomi dan investasi. Bahkan sampai sekarang.
Dalam empat tahun terakhir, Pemerintahan Jokowi sudah menerbitkan 16 lebih paket deregulasi ekonomi, yang pada intinya melonggarkan (liberalisasi) perizinan investasi. Termasuk membolehkan investor asing masuk ke bisnis-bisnis yang sensitif, dengan kepemilikan saham sampai 100%.
Apakah kita layak sedemikian rindu investasi asing sampai harus menelanjangi diri sedemikian rupa? Apakah kita tidak sedang merendahkan martabat untuk sesuatu yang sebenarnya tidak penting?
Bertentangan dengan propaganda sejumlah ekonom, investasi asing ke sebuah negara bukan faktor terpenting dalam membangun ekonomi, apalagi dalam mencapai kesejahteraan menyeluruh bagi masyarakat.
“Mantra tentang pentingnya investasi asing disandarkan pada sejumlah mitos,” kata Dierk Herzer, ekonom dari Goethe University, Jerman.
Herzer cs mengkaji data 28 negara berkembang yang menonjol menerima investasi asing (FDI – foreign direct investment), termasuk Indonesia.
Pada sebagian besar negara tadi, menurut Herzer, tak ada kaitan antara FDI dengan pertumbuhan ekonomi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hanya 4 negara (dari 28) yang memperoleh manfaat pertumbuhan ekonomi lewat investasi asing.
Sementara itu, tak ada kaitan sama sekali antara pertumbuhan ekonomi yang dipicu FDI dengan peningkatan income per kapita maupun tingkat pengetahuan (tranfers pengetahuan, teknologi dan ketrampilan manajemen).
Transfer pengetahuan yang dijanjikan FDI, menurut Herzer, adalah ilusi. Perusahaan multi-nasional umumnya merahasiakan paten dan informasi spesifiknya.
Bahkan jika pengetahuan dan paten dibuka, perusahaan domestik tak bisa belajar dari multi-nasional karena keterbelakangan teknologi dan sumberdaya manusia.
Alih-alih memberi manfaat, menurut Herzer, investasi asing justru memicu kerusakan serius dalam ekonomi negeri penerima: eksploitas sumberdaya alam murah; menjadikan warga negara sekadar pasar alias konsumen; serta membunuh perusahaan-perusahaan domestik.
Herzer dan kawan-kawan menyarankan agar pemerintah di negara-negara berkembang melepaskan obsesinya terhadap investasi asing (FDI) dan lebih fokus mengembangkan perusahaan lokal.
Apa maknanya bagi Indonesia sekarang?
Kita mungkin tak bisa kembali lagi ke zaman Bung Karno, yang demikian gagah-berani berteriak berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, mandiri, tak butuh bantuan dan investasi asing.
Apa yang bisa kita lakukan adalah mendekati itu: melepas obsesi pada investasi asing dan membuah anggapan bahwa investasi asing itu sangat penting bagi kesejahteran bangsa kita. Tak peduli investasi itu dari Tiongkok, Jepang, Amerika, ataupun Saudi (jika ada).
Dengan berpuasa membayangkan masuknya investasi asing, pemerintah maupun bangsa ini dipicu untuk imajinatif dan kreatif mengembangkan sumberdaya sendiri. Bekerja dengan apa yang kita punya. Serta bangga akan hal itu meski lebih kecil dan sederhana.
Be ourself. Tidak membebek orang lain.