Bayangkan horor Covid-19 yang mencapai puncak saat orang dengan mudah tumbang. Jalan di kota senyap, bisnis berjatuhan, jutaan orang mendadak kehilangan pekerjaan.
Penerimaan APBN amblas karena hampir sebagian besar pengusaha tak mampu membayar pajak. Pemerintah tak boleh diam. Risiko harus diambil untuk melindungi puluhan juta orang: ambil utang baru. Defisit APBN 2020 – 22 jelas makin dalam.
Langkah cerdas diambil dengan menerbitkan pelbagai surat utang dalam rupiah. BI diajak jadi non bidding buyers dalam skema burden sharing. Sampai akhir Desember 2022, BI punya tagihan ke pemerintah Rp 1.105 triliun. Dana pensiun, asuransi, perbankan, manajer investasi, sampai anak-anak milenial, ikut membeli surat utang itu. Menarik karena yield-nya jauh di atas bunga deposito.
Dalam tiga tahun (2020-22) masa PPKM Covid-19 itu utang pemerintah naik dari Rp 4.778 triliun (2019), Rp 6.075 triliun (2020 saat Covid-19 menyebar), Rp 6.909 triliun (2021), dan terakhir Rp 7.734 triliun (Desember 2022). Kenaikan besar dipakai untuk menanggulangi Covid-19 dan memulihkan ekonomi serta daya beli masyarakat. Datanya terbuka, tidak ada yang disembunyikan. Jadi sulit bohong.
Bagian terbesar utang dalam satuan rupiah, bukan dolar sehingga saat suku bunga dolar naik, pengaruhnya terbatas. Tahun ini bunga yang harus dibayar Rp 441,4 triliun sebelumnya Rp 404 triliun. Sebagian besar dibayarkan ke pemegang surat utang rupiah lokal. Sebagian lagi ke asing.
Jadi berbeda dengan tahun 1990 sampai 2015, bunga dan cicilan pokok yang dibayar ke luar negeri sangat besar. Almarhum Sjahrir menyebut terjadi crowding out efect. Artinya utang baru yang dibuat lebih kecil daripada pembayaran utang dan bunga sebelumnya.
Akibatnya transaksi jasa defisitnya makin gede sehingga transaksi berjalan pernah defisit US$ 7 miliar. APBN juga defisit. Ekonom menyebut twin deficit. Mereka menyebut defisit APBN otomatis akan memperdalam defisit pada transaksi berjalan (current account).
Teori para monetaris itu kini tumbang. Defisit APBN justru membuat surplus transaksi berjalan sejak Q2 2022. Mengapa? Karena cicilan utang pokok dan bunganya sebagian besar jatuh ke lokal.
Was-was boleh tapi tidak usah berlebihan apalagi menyebar rasa pesimistis. Pilihan pemerintah sudah tepat (on the right track), perdalam pasar keuangan lokal untuk membiayai defisit APBN. Alhamdulilah bisnis mulai menggeliat. Kedermawanan tumbuh. Warga berbagi karena beban yang dihadapi berat. (Eddy Herwanto)