Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Agus Widjojo mengatakan masyarakat harus melihat peristiwa kerusuhan 21-22 Mei secara utuh. Jika demonstran taat aturan, kekerasan tak akan terjadi. “Penyampaian pendapat di muka umum itu sudah ada aturan-aturannya seperti mendaftar dulu, berapa jumlah orangnya, di mana tempatnya dan ingat bahwa berakhir pada pukul 18.00 WIB. Kalau pendemo itu sepakat menaati peraturan, tidak akan terjadi kekerasan. Apalagi kalau pendemo tidak melakukan kekerasan,” kata Agus di Jakarta, Senin (27/5/2019).
Dalam aksi tersebut, merujuk pada penjelasan kepolisian, terdapat dua jenis massa yang datang. Pertama, merupakan massa aksi yang asli. Mereka menggelar aksi dengan tertib. Kedua, merupakan massa perusuh. Massa yang terakhir inilah yang membuat keonaran.
Agus mengatakan, suatu keharusan bagi aparat untuk mencegah pelanggaran hukum terjadi. Dalam konteks Kerusuhan 21-22 Mei, lanjut Agus, massa beringas, melakukan kekerasan dan perusakan. “Apabila pendemo sudah membahayakan jiwa umum dan aparat, di situ aparat boleh meningkatkan tindakan itu untuk mencegah adanya orang kehilangan nyawa,” ujar Agus.
Agus menuturkan jatuhnya korban jiwa dalam sebuah peristiwa kerusuhan di negara manapun bisa saja terjadi. Dia pun mengatakan perlu adanya kejelasan seputar kematian orang-orang dalam peristiwa tersebut, namun dia meminta publik juga melihat perilaku demonstran kepada aparat. “Dalam kejadian-kejadian unjuk rasa yang mengarah pada kekerasan di negara manapun bisa saja jatuh korban. Memang perlu didalami berapa korbannya, identitasnya siapa, itu perlu. Tapi juga pembakaran kendaraan-kendaraan aparat, pembakaran asrama itu tidak perlu terjadi. Kita harus seimbang melihatnya,” tutur Agus.
Agus menilai polisi, pada saat kerusuhan, berada pada posisi yang serba salah karena di satu sisi harus sempurna dan di sisi lainnya merasa tertekan dengan serangan demonstran. “Tidak mudah menjalankan tugas sebagai polisi. Dia harus sempurna. Kita harapkan dia sempurna, dia tidak boleh menggores sedikit pun orang yang tidak bersalah,” ucap Agus.
“Tapi dia di bawah tekanan, dilempari batu yang sudah disiapkan dan sebesar kepala bayi, dan terdapat kendaraan-kendaraan yang fungsinya untuk kemanusiaan tapi digunakan untuk membawa alat untuk melakukan kekerasan dan polisi terkena,” sambungnya.
Terkait pengakuan tentang adanya anggota Brimob yang memukuli perusuh secara berlebihan, Agus berpendapat Polri telah berusaha menunjukkan profesionalismenya. “Pernyataan Polri akan melakukan penyelidikan kalau ada anggotanya yang bertindak melewati ukuran-ukuran yang ditentukan, itu sudah menunjukan paling tidak ada profesionalitas Polri,” jelas Agus.
Dia menambahkan, masyarakat semestinya dapat memperhitungkan kearifan Polri yang telah memberi toleransi waktu kepada pengunjuk rasa.
Diketahui pada 21 dan 22 Mei kemarin, sesuai Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum, semestinya unjuk rasa berakhir pukul 18.00 WIB. Namun karena koordinator massa meminta kelonggaran waktu berbuka puasa dan salat tarawih bersama, Polri memperpanjang batas waktu berkerumun hingga pukul 21.00 WIB. “Diberikan toleransi oleh polisi untuk salat tarawih. Perhitungkan juga kearifan-kearifan toleransi yang diberikan polisi. Tapi ketika dini hari, ada rombongan lain melakukan perusakan, nggak bisa dong aparat keamanan seperti patung yang diam saja, sementara massa bebas melakukan perusakan-perusakan,” pungkas Agus.
Terakhir, Agus menyimpulkan bahwa polisi telah berupaya menangani kebrutalan massa secara defensif.
Meskipun defensif, bukan berarti polisi harus diam saja ketika dilempari batu oleh massa. “Pakai logika dong, polisi juga tidak mau untuk badannya dipasang hanya untuk dilempari batu dan tidak boleh melawan. Saya melihat, Polri sudah melaksanakan tugasnya secara profesional dan semaksimal mungkin bersikap defensif, tidak ofensif,” tandas Agus.