Oleh Chen YJ
Belakangan banyak muncul narasi mengenai debt trap atau jebakan utang dari Tiongkok yg telah menjadi hangat beritanya di banyak media di negara kita.
Khususnya yang menjadi sasaran adalah proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) terutama setelah diketahui proyek tersebut mengalami pembengkakan biaya yang awalnya direncanakan menelan biaya Rp 86.67 triliun kemudian membengkak menjadi Rp 114.24 triliun.
Kasus inilah yang kemudian menjadi ramai dan dinarasikan Indonesia telah masuk jebakan hutang Tiongkok. Padahal wakil menteri BUMN Kartika Wiryo Atmojo telah menjelaskan bahwa pembangunan KCJB bukanlah utang negara melainkan korporasi.
Dan hal ini pun dipertegas oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, sehingga tidak ada hubungannya dengan APBN, apalagi sebagai jaminan.
Karena dengan menggunakan skema B TO B sehingga yang berutang adalah perusahaan patungan PT Kereta cepat Indonesia China dengan bunga pinjaman sebesar 3,4%.
Tahukah Anda apabila negara yang meminjam sesuai dengan rasio kredit rating Indonesia saat ini yang berada di level BB+ adalah 6,7%.
Seperti utang Indonesia kepada 3 kreditor terbesar untuk Indonesia: 1) Singapore 57.455 milliar USD, 2) Amerika Serikat 32.537 milliar USD, dan 3) Jepang 24.46 Milliar USD.
Dengan data tersebut yang memungkinkan Indonesia terjebak dalam utang justru dari ketiga negara yakni Singapore, AS dan Jepang.
Pemberitaan yg mengatakan bahwa pinjaman utang Tiongkok begitu menyeramkan adalah narasi propaganda yang dibangun oleh Amerika Serikat.
Untuk memposisikan dirinya sebagai protagonis sementara Tiongkok menjadi antagonis sehingga Amerika Serikat dapat membuat banyak merasa tidak percaya dengan perjanjian ekonomi yg dilakukan dengan Tiongkok.
Kenapa harus bekerjasa sama dengan Tingkok dalam pembangunan infrastruktur?