Oleh Ari Askhara, Pengamat Industri Penerbangan
Kita semua percaya air connectivity (konektivitas udara) sangat berpengaruh mengembangkan industri pariwisata baik secara International maupun domestik. Selain itu dengan berkembangnya e-commerce yang membutuhkan kecepatan deliveri logistik, peran bandara sangatlah krusial.
Kehadiran international airport oleh banyak kalangan, khusus nya regulator dan kementrian, di nilai akan sangat signifikan menumbuhkan trafik orang guna menunjang industri pariwisata khususnya mendatangkan pariwisata dari luar negeri. Apakah sepenuhnya benar anggapan tersebut ataukah itu hanya latah atas teori air connectivity yang didengungkan oleh asing?
Tidak sepenuh nya salah, namun apabila kita masih bicara akan, dimana kata “akan” penuh dengan ketidakpastian dan memang harus dicoba kebenarannya
Bandara Internasional di Indonesia: Nasibmu kini
Kita lihat banyak bandara-bandara Internasional dibuka dalam kurun waktu 2014-2019, tercatat oleh penulis ada 32 bandara. Tidak tahu apakah memang itu merupakan rencana pemerintah untuk membuka akses guna mempermudah turis asing mengunjungi destinasi pariwisata domestik ataukah hanya komoditas politik daerah para bupati dalam memenangkan hati rakyat untuk menaikkan gengsi daerah dengan mempunyai bandara Internasional.
Bisa dibuktikan, bandara-bandara internasional tersebut hanya kebanyakan melayani rute ke Singapura dan Kuala Lumpur. Tidak ada ditemukan jalur Sydney, Doha ataupun Dubai di kota-kota tersebut. Buntutnya bisa kita katakan, dengan penyesalan, kita bangsa Indonesia membesarkan Bandara Changi dan Kuala Lumpur international menjadi gurita yang bertambah terminalnya setiap 3-5 tahun.
Sedangkan Indonesia, di Bandara Soekarno-Hatta, untuk mengoptimalkan Terminal 3 saja perlu effort luar biasa. Dari tiga terminal, hanya Terminal 3 yang digunakan untuk International, itupun kurang dari 40% utilisasinya, sedangkan sisanya masih untuk penerbangan domestik.
Selain itu, dengan dibukanya banyak bandara internasional di Indonesia, potensi ancaman keamanan nasional atas penyelundupan barang-barang terlarang, imigran gelap bahkan narkoba, tetap tinggi. Hal ini dikarenakan kualitas Bea Cukai dan fasilitas keamanan di bandara-bandara tersebut tidak memadai, tidak selevel di Bandara Soekarno-Hatta atau Ngurah Rai. Belum lagi kita bicara bagaimana potensi masuknya kepentingan-kepentingan asing yang tidak terpantau sehingga bisa menyebabkan potensi teroris di daerah.
Selain itu sebelum Covid, apakah banyak turis asing langsung yang datang dari Eropa ke Miangas, Banyuwangi, atau Blora? Kebanyakan adalah orang-orang daerah di Indonesia yang ke Singapura untuk belanja kemudian flexing bangga telah ke Takashimaya membeli “branded bags” dan jam tangan, serta ke Kuala Lumpur (kemudian ke Penang) untuk berobat.