Golput adalah suara protes untuk menuntut perubahan sistem politik.
Oleh Farid Gaban
Bagaimana format kepartaian dan pemilu bisa berubah? Itu akan tergantung dari sejauh mana masyarakat sendiri sadar tentang pentingnya perubahan dan seberapa banyak yang menyadarinya?
Sejak Orde Baru, komunitas golput memang minoritas. Meski begitu, dalam pemilihan legislatif (partai) jumlah golput cenderung meningkat; dari 15% pada 2004 menjadi sekitar 30% pada 2019.
Itu mencerminkan kerusakan sistemik dalam kepartaian kita.
Di sisi lain, golput pemilihan presiden justru turun, dari sekitar 30% pada 2015 menjadi hanya 20% pada 2019.
Ini mencerminkan keyakinan publik bahwa seorang presiden (khususnya Jokowi) bisa membuat perubahan sistemik untuk mengimbangi kerusakan pada sistem kepartaian.
Namun kita tahu, Skandal Mahkamah Konstitusi Gibran dan Skandal PSI-Kaesang belakangan ini menunjukkan bahwa harapan publik ternyata kosong belaka. Dan menurut prediksi saya, golpul pilpres akan meningkat pada 2024.
Apa yang kami lakukan sebagai golput adalah menunjukkan betapa rusak sistem politik dan pemilu kita. Suara ini masih minoritas, tapi kami tak berkecil hati.
Itu sama persis yang kami lakukan dalam hal pangan, yakni berkampanye memperbaiki proses produksi dan konsumsi pangan.
Dalam pilpres kita ibarat diminta memilih santapan yang sudah ada: Prabowo-Gibran, Ganjar-Mahfud atau Anies-Muhaimin. Kita tidak tahu bagaimana pangan itu diolah dari sumber apa saja, apakah pangan itu sehat. Itu diolah oleh partai-partai yang rusak.