Sabtu, Desember 21, 2024

Amnesia Teluk Jakarta

Must read

Kolom Farid Gaban

Baik pendukung Basuki Tjahaya Purnama maupun Anies Baswedan lupa, atau mungkin tidak paham, bahwa Reklamasi Teluk Jakarta adalah proyek nasional pemerintah pusat. Pada dasarnya proyek Presiden Joko Widodo.

Kontroversi reklamasi Teluk Jakarta kembali marak ketika pekan-pekan ini orang memperdebatkan keputusan Gubernur Anies Baswedan memberi izin IMB pada 900-an bangunan di pulau hasil reklamasi. 

Anies telah menghentikan pembangunan pulau-pulau baru (rencananya akan ada 17 pulau) seperti janji kampanyenya. Namun, dia memberi IMB untuk bangunan di empat pulau hasil reklamasi yang sudah terlanjur dibangun.

Kita bisa memperdebatkan lebih panjang tentang apakah sebaiknya Anies memberi izin bangunan yang sudah terlanjur ada atau, sebaliknya, menghancurkan bangunan dan pulau yang sudah direklamasi.

Saya sendiri berpendapat: pulau yang sudah terlanjur jadi sebaliknya dialihkan menjadi kawasan konservasi (dihutankan). Bangunan di atasnya dirobohkan, agar ini tidak menjadi kawasan hunian dengan segala ikutannya.

Bangunan di atas pulau palsu harus dianggap bangunan ilegal, karena prosesnya yang penuh intrik dan kolusi sejak zaman Gubernur Fauzi Bowo. 

Pak Jokowi sendiri, ketika menjadi gubernur mengalahkan Fauzi Bowo, telah menghentikan proses pembangunan pulau karena menilainya tidak bermanfaat bagi masyarakat. 

(Namun, kita tahu, hanya beberapa bulan menjabat Jokowi meninggalkan kursi gubernur untuk kampanye presiden. Ahok melanjutkan pembangunan pulau). 

Rencana reklamasi sudah bermasalah sejak pertama kali digagas pada zaman Soeharto (1995), termasuk pernah ditolak oleh Kementrian Lingkungan Hidup zaman Nabiel Makarim (2009). 

Sempat pula menjadi sumber pertengkaran antara Gubernur Basuki dan Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti; serta sempat diwarnai kasus skandal suap yang melibatkan pengembang Agung Podomoro dan politisi Gerindra.

Eva Mariani, wartawan The Jakarta Post, membuat kronologi yang cukup komprehensif tentang sejarah reklamasi ini (Lihat Evi Mariani).

Tapi, sebenarnya, seperti sudah saya sebut di atas, masalah reklamasi Teluk Jakarta tidak berhenti hanya masalah Jakarta. Ini masalah nasional, yang juga melibatkan Presiden Jokowi.

Pembangunan 17 pulau reklamasi merupakan bagian terpadu dari apa yang disebut National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) yang pertama kali diusulkan oleh konsultan Belanda pada 2005. 

Pada intinya, proyek ini bertujuan membangunan tanggul raksasa (giant sea wall), sepanjang 30 km mengelilingi teluk, untuk melindungi Jakarta dari banjir rob. 

Biayanya sekitar US$40 miliar. Ongkos itu tak bisa ditanggung oleh pemerintah sendirian. Itu sebabnya, di tengah tanggul dibuat 17 pulau komersial agar swasta bisa ikut mendanai.

Marterplan giant sea wall (tanggul dan pulau-pulaunya) membentuk burung garuda raksasa jika di lihat dari atas. Itu sebabnya disebut Garuda Giant Sea Wall. Di dalamnya akan meliputi apartamen, perkantoran, airport, jalan tol, dan semua komponen pendukung lainnya.

Groundbreaking tahap pertama Garuda Sea Wall dilakukan pada Oktober 2014, hampir bersamaan dengan pelantikan Jokowi sebagai presiden pada periode pertama. 

Ini menjadi salah satu mega-proyek infrastruktur yang digadang-gadang Jokowi (meski tadinya dia menolak).

Lima tahun kemudian, di tengah gemuruh kampanye pemilihan presiden 2018-2019, orang tidak terlalu memperhatikan bahwa ada perdebatan seru tentang kelanjutan proyek ini.

Pada Januari 2019, Gubernur Anies tetap bersikukuh agar proyek ini dihentikan. Jakarta, kata dia, perlu tanggul di pantai; bukan bendungan raksasa dengan pulau-pulau di tengahnya.

Sementara itu, Pemerintahan Jokowi (lewat Kementerian Pekerjaan Umum) ingin agar pembangunan ini tetap dilanjutkan.

Jadi, status ketegangan soal reklamasi ini sekarang sebenarnya antara Pemerintah Jakarta (Anies) dan Pemerintah Pusat (Jokowi).

Peta masalah seperti ini perlu diketahui pendukung maupun pengecam Anies. Di mana, Anda berdiri?

Saya pribadi termasuk yang dari awal menolak gagasan giant sea wall. Saya bukan warga Jakarta, tapi saya tak ingin uang pajak saya dipakai untuk membangun mega-proyek nasional tapi sifatnya Jakarta-sentris.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article