Oleh Anang Yaqeen
Dalam keadaan seperti apa sejatinya kita merasa sebagai makhluk ber-Tuhan di muka bumi ini? Dalam keadaan lapar, papa, miskin, susah, menderita atau dalam keadaan berkuasa, berjaya, berlimpah ruah? Dalam waktu siang, malam, sore, pagi, subuh, sadar, mabuk, sakit, sehat. Manusia diberkahi jasad badag dan alus yang dalam keduanya diikat oleh dua tali yang berkelindan. Akal dan kalbu.
Kedua tali pengikat manusia ini, bagi kalangan yang memiliki keyakinan akan kekuasaan Tuhan, terutama yang berdasar agama langit, bekerja secara simultan mengiringi hari-hari, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali dan akhirnya sampai tidur panjang manusia.
Bagaimana akal dan kalbu menempatkan Tuhan dalam hari hari kita? Basisnya ada pengetahuan, ada pengalaman. Pada masing-masing manusia berbeda-beda setiap saat.
Nah, pengalaman saya merasakan ber-Tuhan, sesungguhnya dilingkupi oleh ketidakmengertian atas hidup dan kekosongan batin akan suatu pegangan yang tidak dimiliki oleh manusia. Orientasi keduniawian dan bayangan akan kematian yang mengerikan, dibumbui oleh sedikit pengetahuan yang berasal dari ajaran agama, menempatkan pilihan manusia untuk pasrah pada kekuatan maha besar di luar dirinya.
Keadaan ini berlangsung dalam bangunan dialektika iman. Keadaannya naik turun, lemah kuat, teguh lunglai. Dia tidak konstan berada pada posisi yang sama tergantung pada stimulasi yang menghampiri manusianya, juga kadar pangalaman dan pengetahuan masing masing. Tuhan hadir (dihadirkan) oleh benak kesadaran kadang oleh kebutuhan batin yang tak terperikan akibat ketidakberdayaan manusia. Tuhan hadir melalui sebuah tindakan ajaran atau tindakan manusia itu sendiri secara refleks sebagai bentuk manifestasi rasa sebagai makhluk yang diciptakan.
Apa yang kita rasakan sebagai manusia ketika berusaha merasa ber-Tuhan? Apakah kita merasa ber-Tuhan untuk tujuan-tujuan moral, sehingga yang nampak adalah kesalehan secara sosial atau kita merasa ber-Tuhan untuk tujuan spiritual? Sehingga yang hadir adalah ketentraman batin, kepasrahan sebagai manusia tidak berdaya dan merasa ada pegangan yang menjamin kehidupan secara holistik dalam ketidakpastian manusia. Ber- Tuhan untuk orientasi moral maupun orientasi spiritual sesungguhnya selalu saling terkait dengan ditentukan oleh tingkat keyakinan yang melekat pada diri manusianya. Ada juga yang ber-Tuhan untuk sebuah citra diri, sebagai manusia saleh, manusia beriman, tetapi secara moral maupun spiritual, tidak mencerminkan sebagai manusia ber-Tuhan.
Lalu, kalau kita jujur kepada hati kita, jujur pada pengetahuan kita, di mana sebenarnya adanya Tuhan dalam akal dan batin kita?
Secara subyektif, pengalaman saya semntara ini membayangkan Tuhan berada jauh di luar jangkauan akal dan jangkauan batin. Tuhan di atas langit dan dalam jarak yang tidak terjangkau. Sehingga, terkadang ada rasa bimbang dan jauh tak terpantau, tak tersentuh oleh Tangan-Nya, sampai tergelincir pada keadaan sama sekali dari rasa ber-Tuhan. Ada rasa manusia menentukan dirinya sampai pada batas terjauhnya. Keadaan seperti ini datang dan pergi seiring dengan naik turunnya keyakinan yang melekat.
“… Maka, perasaan mengabdi kepadanya dilakukan dengan rasa bersalah atau berdosa yang tinggi untuk kemudian meminta ampunan.”
Pengalaman menempatkan Tuhan dalam ketidakterjangkauan itu juga dibentuk oleh pelajaran agama yang kita terima dan ditanamkan secara kuat oleh guru kita, para kyai, para pemuka agama dan lainnya. Pelajaran ini biasa menggambarkan Tuhan dalam ketidakberdayaan manusia. Sehingga kesan Tuhan sebagai ancaman yang akan memberi hukuman kelak begitu kuat dan menakutkan. Maka, perasaan mengabdi kepadanya dilakukan dengan rasa bersalah atau berdosa yang tinggi untuk kemudian meminta ampunan.
Atas dasar itu, kemudian, terasa makin jauhlah kita manusia dari Tuhan sebagai Sang Pencipta. Dan jauh itulah yg menurut saya kerap menimbulkan malapetaka kemanusiaan. Kita beragama tapi tidak merasakan kehadiran Tuhan di dekat kita. Beribadah untuk sebuah ritual yang jauh dari manifestasi kebutuhan rohani yang menempel dalam diri manusia.
Andai saja kita bisa merasakan Tuhan selalu dekat, selalu dalam benak, mungkin secara moral maupun spiritual, kita manusia tidak mudah untuk tergelincir pada perilaku-perilaku kotor. Perilaku yang tidak diamanahkan kepada manusia sebagai makhluk spiritual.