Oleh Eko Sulistyo
Seno Gumira Ajidarma mengkhawatirkan ungkapan Presiden Joko Widodo dalam bahasa Jawa, seperti “Lamun sira sekti, aja mateni; Lamun sira pinter, aja minteri” dan“Lamun sira banter, aja mbanteri”, sebagai bentuk arogansi politik-kultural (Koran Tempo, 2 Agustus 2019). Kekhawatiran Seno ini muncul mengingat pada masa Orde Baru Soeharto sering menggunakan kata Jawa seperti “gebug” untuk membungkam musuh-musuh politiknya yang akan bertindak “inkonstitusional”. Saat itu, kata “gebug” menjadi ancaman terselubung, semacam tindakan preventif agar lawan politiknya mengurungkan niatnya.
Sayangnya, kekhawatiran itu tidak dibarengi dengan analisis yang melihat struktur politik saat ini yang sudah berubah setelah kejatuhan Soeharto oleh gerakan reformasi. Struktur politik otoriter Orde Baru memungkinkan Soeharto menjalankan model kepemimpinan dan kekuasaannya bergaya seperti raja-raja Mataram, dengan kejawaan sebagai basis legitimasi politik sekaligus kultural (Anderson, 1984; Moertono, 1985). Meski ada pemilihan umum setiap lima tahun sekali, semua itu adalah politik “seolah-olah” demokratis.
Dalam kekuasaan Jawa, seorang pemimpin atau raja perlu menjaga wibawa dan karismanya. Ia diharuskan memisahkan diri dari kehidupan masyarakat. Raja Jawa juga dipercaya sebagai titisan dewa yang suci. Rakyat yang dianggap hina harus menjauh atau dilarang menatap, apalagi berdialog dengan raja, karena akan mencemari kesuciannya. Kekuasaan dimaknai sebagai suatu kekuatan energi yang dimiliki raja-raja serta bersifat konkret, homogen, dan tetap, termasuk benda-benda yang dianggap keramat atau sakti.
Soeharto jelas mempraktikkan model kekuasaan raja-raja Jawa yang terpusat pada dirinya dan membuat rakyat takut akan kekuasaannya. Budaya Jawa dijadikan legitimasi kultural Soeharto untuk melestarikan kekuasaannya selama 32 tahun.
Hal ini berbeda dengan Jokowi. Dukungan rakyat terhadapnya bukan berasal dari rasa takut, melainkan rasa aman dan kesamaan yang dibentuk Jokowi. Popularitasnya melambung karena dinilai memahami penderitaan rakyat secara nyata. Jokowi menjadi legitimate bukan karena tindakan represi atau rasa takut akan kekuasaannya.
Ungkapan dalam teks Jawa itu adalah cara Jokowi mencari kebajikan dalam membatasi kekuasaan nirkekerasan yang dipengaruhi oleh konteks kesadaran dan memori kolektif sebagai pemimpin yang lahir dari ibu kandung budaya Jawa. Ungkapan falsafah atau piwulang Jawa itu bukan berarti ia ingin bertindak seperti raja-raja Jawa dengan kekuasaan yang tak terbatas. Justru ungkapan itu mengingatkan kita semua bahwa kekuasaan itu terbatas, tidak absolut, dan tidak bisa semena-mena karena diatur oleh undang-undang.
“… Dalam konteks politik hari ini, ungkapan itu juga menunjukkan karakter kepemimpinannya sebagai solidarity maker, pemimpin yang berjiwa merangkul dan menyatukan.”
Politik sendiri memang berkaitan dengan budaya dan identitas. Setiap pemimpin politik akan membawa identitas masing-masing. Identitas yang tidak terkelola dengan baik dan tanpa struktur politik yang membatasi kekuasaannya bisa mengakibatkan terjadinya sistem politik seperti pada masa Orde Baru, yang dikhawatirkan Seno, yang merefleksikan kekuasaan raja-raja Jawa pada masa lalu.
Kekuasaan dan kepemimpinan adalah dua hal yang saling berkaitan. Kekuasaan adalah akibat sekuler dari peristiwa politik sebagai hubungan antar-manusia, yang dibingkai secara moral lewat kebijaksanaan seorang pemimpin. Dari sisi moral, kekuasaan itu tidak boleh semena-mena. Kekuasaan butuh kepemimpinan moral yang bisa memahami dan mendengarkan orang lain. Sementara itu, kepemimpinan juga butuh moral yang dapat membimbing kekuasaannya.
Dalam perspektif ini, ungkapan Jokowi “Lamun sira sekti, ojo mateni” adalah pesan moral kepada para pemegang kekuasaan di Republik ini. Mereka senantiasa harus menjaga moralitas kekuasaannya agar tidak digunakan semena-mena. Inilah landasan moral kepemimpinan Jokowi, yang ia ambil dari falsafah dan ajaran moral yang hidup dalam memori kolektif masyarakat Jawa.
Dalam konteks politik hari ini, ungkapan itu juga menunjukkan karakter kepemimpinan Jokowi sebagai solidarity maker, pemimpin yang berjiwa merangkul dan menyatukan. Meski terpilih kembali sebagai presiden, Jokowi tidak merendahkan yang dikalahkan. Dalam pidato Visi Indonesia di Sentul, Bogor, beberapa waktu lalu, Jokowi menegaskan bahwa menjadi oposisi sangat mulia.
Karakter kuat sebagai pemimpin solidarity maker juga ditunjukkan Presiden Jokowi dalam kebijakan pembangunannya dengan visi Indonesia-sentris, bukan Jawa-sentris lagi. Transformasi pendekatan pembangunan ini, di satu sisi, dapat dianggap sebagai revolusi untuk membenahi warisan praktik pembangunan yang selama ini menempatkan daerah sebagai sekadar bingkai dari kekuasaan yang sentralistis. Di sisi lain, meski berlatar belakang Jawa, pendekatan pembangunan Indonesia-sentris Jokowi hendak menunjukkan bahwa Indonesia tidak identik dengan Jawa. Jawa hanyalah satu dari pulau-pulau terbesar di Indonesia.
Kekhawatiran Seno, baik yang tersurat maupun yang tersirat, terhadap pesan kepemimpinan Jokowi tentu sah-sah saja. Apalagi jika dikaitkan dengan konteks politik hari ini. Ucapan seorang presiden yang terpilih kembali selalu menarik untuk diberi tafsir dan diperbincangkan. Namun tafsir yang baik akan melihat tidak hanya yang terucap atau teksnya, tapi juga mempertimbangkan konteksnya.
Eko Sulistyo, Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden