Kamis, Desember 19, 2024

Lambaian tangan Achmad Luqman

Must read

Oleh A.S. Laksana

Ia menelepon saya pada Juli tahun lalu, menanyakan kabar, saya menjawab baik. Ia sendiri yang sedang tidak terlalu baik. “Ada beberapa masalah,” katanya.

“Apa yang kamu cemaskan?” tanya saya.

“Apa, ya… sepertinya nggak ada,” katanya.

“Apa yang paling kamu cemaskan?”

Kami bertemu terakhir kali pada 2013 ketika saya menerbitkan sendiri kumpulan cerpen Murjangkung; ia membeli buku itu dan saya mengirimkan buku ke alamat rumahnya dan dua minggu kemudian ia mengabarkan kiriman saya belum sampai. Saya menggunakan kesempatan ini untuk menemuinya dan mengantarkan sendiri buku yang ia beli. Sudah lama kami tidak bertemu.

Ia salah satu kawan yang saya pasti segera datang mengunjunginya jika ia punya waktu luang untuk ngobrol-ngobrol. Malam itu kami bertemu di warung makan di daerah Gandaria, Jakarta Selatan.

Luqman adalah wartawan yang tangguh di lapangan dan lebih menyukai liputan ketimbang mengendap saja di kantor, dan ia punya banyak akal untuk menemui narasumbernya. Ia mula-mula di majalah TEMPO dan kemudian ikut mendirikan Editor bersama-sama rombongan yang keluar dari TEMPO. Di EDITOR, bersama Saur Hutabarat, sahabat dekatnya, Luqman adalah legenda.

Mereka seperti tombak kembar di lapangan bola, seperti sepasang ksatria yang saling melengkapi: Saur hebat dalam menuliskan laporan jurnalistik, Luqman hebat dalam peliputan lapangan.

Ia bisa masuk ke satu acara di mabes TNI (waktu itu mabes ABRI) ketika wartawan-wartawan lain tidak mungkin diizinkan. Ia juga dilarang petugas penjaga pintu, sama seperti yang lain, tetapi ia tahu cara menerobos halangan, sementara yang lain-lain tetap tertahan di pintu masuk.

“Saya melambaikan tangan kepada Pak Benny,” katanya.

Saya menikmati obrolan dengannya karena ia juga punya kejahilan yang menyenangkan untuk didengar bertahun-tahun setelah kejadian, dan saya cepat merasa akrab dengan cara ia guyon.

Ketika masih di majalah EDITOR, ia pernah menugasi wartawan baru untuk menemui Rhoma Irama, sebab ada urusan penting yang memerlukan klarifikasi langsung dari yang bersangkutan. “Bang Haji pindah agama,” katanya. “Temui dia, tanyakan apa alasannya pindah agama.”

Iwan, si wartawan baru, teman baik saya juga, pergi menemui Rhoma Irama di rumahnya dan pulang lagi ke kantor beberapa waktu kemudian dengan membawa kutipan ucapan Bang Haji: “Na’udzubilahi min dzalik! Itu fitnah keji. Itu fitnah setan.”

Iwan menceritakan kejadian itu pada 1998, setelah reformasi, dan pada saat itu hampir tiap malam saya bertandang ke rumah Luqman menemani Kenthir yang diminta mendesain pekerjaan-pekerjaan advertorial.

Saya di Baligrafik waktu itu, perusahaan desktop publishing yang didirikan oleh Iwan dan Bintoro. Kenthir juga di sana. Farid Gaban, Katamsi Ginano, dan Purwanto Setiadi bergabung ke sana lebih dulu ketimbang saya dan kami berniat menerbitkan majalah remaja tetapi tidak pernah terwujud.

Luqman sudah tidak lagi menjadi wartawan. Selain menggarap pekerjaan-pekerjaan advertorial, ia pada waktu itu menyiapkan dua komik politik: “Amien Rais Lokomotif Reformasi” dan “Megawati Sang Pendamping.” Setelah dua komik itu terbit, ia berpikir membuat komik yang bisa dicetak tiap tahun. Maka, ia membuat komik “Cara Mabrur Naik Haji & Umroh”.

Orang-orang bekerja di rumahnya di Cipete; kami bercakap-cakap. Saya memang tidak punya urusan apa pun dengan semua pekerjaan itu dan hanya datang setiap malam karena senang bercakap-cakap dengan Luqman. Cerita tentang bagaimana ia bisa masuk ke mabes ABRI saya dengar pada waktu ini.

Ketika petugas menahannya di pintu masuk, ia melihat Benny Moerdani, panglima ABRI, sedang berjalan di kejauhan sana menuju ke gedung tempat acara. Kebetulan Benny menoleh ke belakang dan Luqman, dengan akalnya yang bekerja cepat, segera melambaikan tangan dan Benny secara refleks membalas lambaian itu.

“Saya ada janji dengan Panglima,” katanya kepada petugas pintu masuk. Sesungguhnya ia tidak pernah membuat janji dengan Benny dan ia juga bukan kenalan dekatnya.

“Jadi, apa yang membuatmu cemas?” saya mengulang pertanyaan untuk kali ketiga, dan akhirnya ia mengatakan:

“Aku menyayangi anak-anakku.”

Kami bercakap-cakap panjang melalui telepon. Besoknya ia menelepon lagi, mengatakan keadaannya lebih enak. Besoknya menelepon lagi. Saya selalu ingin meneleponnya lagi begitu percakapan berakhir; saya senang bercakap-cakap dengannya.

Hampir tiap hari kami saling menelepon sejak Juli, dan suatu hari ia mengabarkan sedikit stres dan menduga itu mungkin karena dokter melarangnya merokok. Saya tertawa oleh dugaannya, dan ia menelepon dua hari kemudian untuk memberi tahu bahwa dugaannya benar.

“Aku merokok dan sekarang rasanya lebih rileks,” katanya. Suaranya terdengar seperti suara kanak-kanak yang menemukan kembali mainan kesukaan.

Ia kadang bertingkah seperti kanak-kanak. Ketika anak pertamanya masih bayi, ia suka mencoreng-coreng wajah si bayi dengan bedak dan merasa bahagia dengan perbuatannya, sebahagia pelukis abstrak yang baru menyelesaikan lukisannya.

Kok kowe ndablek, Mas?” kata saya.

“Cuma tiga sedotan, Lak, dan cuma sampai mulut, tidak masuk paru-paru.”

Suaranya masih terdengar seperti suara kanak-kanak. Kami bercakap-cakap apa saja, juga tentang administrasi kampus tempat anak bungsunya, Kundera, masuk kuliah: ia sudah membayar biaya yang harus ia bayar dan tidak pernah tercatat sudah membayar. Ia sudah mengirim surat pembaca ke tiga media—Kompas, Tempo, dan Media Indonesia. Tidak ada reaksi.

Setelah pembicaraan usai, ingatan saya terbang begitu saja ke masa 30 tahun lalu.

Ketika ada kabar Luqman datang ke kantor EDITOR biro Jogja, saya bergegas bersama beberapa teman menemuinya. Beberapa waktu sebelumnya kami sudah lebih dulu bertemu tandemnya, Saur Hutabarat, dan saya takjub mendengarkan cara Saur bicara dan merasa baik-baik saja ketika ia “memarahi” kami, para mahasiswa komunikasi, yang pada masa itu cenderung memperbesar rasa takut kepada Ashadi Siregar.

Ashadi terlalu pintar bagi kami, dan kami cuma mahasiswa pas-pasan, dan kami tidak ingin mendapat pertanyaan apa pun dari dia. Karena itu kami menjauhinya. 

“Kalian mestinya mendekati Lek Ngasdi, bukan menjauhinya,” kata Saur. Ia menaruh hormat sangat tinggi kepada Ashadi Siregar—kami menyebutnya Bang Hadi dan Saur menyebutnya Lek Ngasdi.

“Dan selagi kalian menjadi mahasiswa, jangan cuma mendekam di jurusan komunikasi. Main. Ikuti kuliah di jurusan-jurusan lain.”

Saya mengikuti sarannya. Sesekali saya masuk ke kampus jurusan sejarah mengikuti kuliah Pak Kuntowijoyo, sesekali mengikuti kuliah Pak Sartono Kartodirdjo, dan itu menjadi petualangan tersendiri yang menyenangkan.

Luqman yang kami temui malam itu di mata saya sama menakjubkannya dengan Saur. Ia gagah, mengenakan jaket hijau tentara, berambut gondrong, setinggi cemara yang kokoh menjulang.

Ketika ia bicara, saya membatin: O, beginilah cara wartawan hebat bicara. Ia menunjukkan wibawa jurnalistik yang saya yakin tidak pernah bisa saya tandingi kalaupun saya seumur hidup menjadi wartawan.

Pada Oktober dan November kami tidak saling kontak dan ia menelepon lagi Desember. Saya sedang di jalan, tidak bisa menanggapi panggilan telepon. Di tempat istirahat, saya meneleponnya.

“Aku baru dari Magelang, Mas, dari rumah Kenthir,” kata saya.

“Ia masih takut pada Yadi?” tanyanya.

“Tentu saja masih.”

“Kenthir itu semua orang dimarahi, kecuali Yadi Dahlan. Dia cuma takut pada Yadi. Sebaiknya jangan dikasih tahu bahwa Yadi sudah meninggal, biar tetap ada yang dia takuti.”

Yadi Dahlan adalah desainer tabloid DeTIK pernah menjadi guru mengaji di masjid Kauman, Jokja, meninggal pada 13 September 2011.

Pada 1 Januari Luqman menghubungi saya lagi dan kami terakhir bercakap-cakap pada 13 Januari. Tadi malam saya ingat dia, ingin meneleponnya tetapi ragu-ragu, dan akhirnya saya menelepon Hamid Basyaib. Seusai percakapan, ada pesan masuk tentang Luqman.

Achmad Luqman, wartawan yang saya kagumi: ia meninggal pada hari pers nasional, 9 Februari 2020, di usia 68. Saya membeku menerima kabar ia meninggal.***

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article