Oleh Sunardian Wirodono
Yang terburuk dari dunia media, adalah jargon ‘bad news is good news’. Dari sisi mana? Dari sisi spirit jualan.
Maka, ketika Dahlan Iskan menulis pasien terkait virus Corona, kita maklum; Begitulah orang jadul. Dalam etika jurnalisme dia boleh saja berargumentasi, namun dalam konteks masa kini, hal itu menjadi persoalan dengan komunikasi sosial dan psiko-sosial kita.
Termasuk bagaimana Kompas menulis wawancara dengan pasien virus Corona, dengan mengutip secara verbatim pernyataan narasumber; Bahwa selama di RS pasien tidak diberi obat. Hanya di Indonesia pasien bisa diwawancara media, dan disiarkan publik. Tanpa konfirmasi atau crosscheck bagaimana SOP penanganan pasien itu di rumah sakit.
Wartawan boleh bilang ini jaman keterbukaan, tapi jangan goblok-goblok bangetlah, apalagi seolah paling tahu. Era wartawan sebagai burung nasar, mungkin karena terinspirasi heroisme para wartawan di Amerika Serikat dekade 70-an. Jadul banget. Ini abad digital Bung, di mana troll adalah fakta, bukan lagi perdebatan antara ini fakta atau opini!
Maka bandingkan dengan penanganan kasus Reynhard Sinaga, monster seks di Inggris. Proses pengadilan berjalan dua tahun lebih, tanpa pers sama sekali mengetahui. Baru gempar ketika pengadilan menjatuhkan vonis pada lelaki asal Indonesia itu. Dan, Kompas TV merasa eksklusif dengan menyuruh Aiman Wicaksono memburu berita itu ke London. Basi, Bung! Apalagi isinya tanpa kedalaman, tak memberi impresi apa-apa selain kesan bombasme dalam meladeni kekepoan masyarakat Indonesia.
Sayang sekali pemerintah Indonesia tak punya official media yang bebas dari kepentingan pasar. Yakni media dengan informasi yang terukur akurasinya, standar, dan terkonfirmasi pihak-pihak kompeten serta punya otoritas. Ini negeri sangat liberal, mencari direktur TVRI pun antara lain yang jadi ukuran adalah ‘meningkatkan popularitas’ TVRI. Pasar ekonomi mulu pikirannya.
Langkah Jokowi dalam hal ini pun terasa pragmatis. Ambil gampangnya dengan mengguyur miliaran rupiah bagi para influencer. Makhluk macam apa influencer ini?
Jokowi sama sekali tak memerlukan official media, meski dalam manajemen informasi negara kelimpungan menghadapi berbagai isu. Jokowi lebih memilih nge-vlog pribadi, bahwa dirinya sudah 17 tahun minum jamu. Masih lebih lama simbah saya, Pak. Sepanjang hayatnya minum jamu, sampai meninggal di usai 103 tahun dalam kondisi sehat.
Apakah program televisi semacam ILC bagian dari bagaimana bangsa ini mengelaborasi suatu permasalahan, sebagai pokok bahasan yang urgen?
Meski mempunyai durasi yang cukup panjang, program itu sering tak berimbang karena nara sumbernya para pihak yang punya kepentingan masing-masing. ILC hanya sebuah ruang tinju, forum amplifikasi masing-masing pihak, dan sok bijak menyerahkan kesimpulan pada masyarakat. Karni Ilyas sebagai host, tidak representatif untuk meresume hasil diskusi, apalagi memberi impresi bagaimana terjadi proses transformasi nilai pada masyarakat. Ia hanya menambah penguatan masing-masing kubu.
Jika beberapa hari lalu saya menulis mengenai Lemhanas (Lembaga Pertahanan Nasional), bayangan saya di lembaga inilah orang-orang yang bekerja di ruang publik, entah itu pejabat negara maupun wartawan, penyiar radio, dan sebagainya, bukan hanya memiliki standar kompetensi. Melainkan juga kesadaran ideologi dan profesi, mengenai nilai pekerjaannya yang berdampak pada kehidupan masyarakat.
Sebuah lembaga yang mengedukasi dan observasi para calon profesional, agar secara teknis dan ideologis memahami masalah-masalah dasar seperti politik, psikologi, komunikasi massa, kebudayaan, sejarah, ideologi negara, dan juga filsafat. Bukan semacam BPIP yang sampai sekarang tak jelas pekerjaannya.
Dulu saya mendengar Jokowi mau melakukan revolusi mental. Saya memilih dia. Di periode kedua mau membangun kualitas sumberdaya manusia. Saya memilih dia. Tapi mana?
Makbedundug muncul virus Corona, dan kita kelimpungan dibuatnya. Lha wong soal ekonomi gotong-royong BPJS saja, malah jadi ajang korupsi, baik rumah sakit maupun manajemen BPJS itu sendiri. Bagaimana rakyat yang urunan BPJS tidak mangkel?
Tapi meski mangkel, dengan mentalitas korup di semua lini itu, saya tidak menjadi kamdrun (kampret di gurun), karena ngeri kemarin lihat pawai para mantan HTI bebas melintas di Malioboro, meneriakkan syariah-khilafah dengan kawalan polisi. Kok bisa, Pak Pol? Dan media juga diam saja, takut didemo.
Moga-moga di masa depan kita punya media yang baik, sebagai cerminan bangsa ini tumbuh dengan baik. Itu sekiranya komunikasi kita masih membutuhkan huruf.
Sumber: Sunardian Wirodono