Analisa Debat Ketiga Pilkada Jakarta
Oleh: Saidiman Ahmad, Pengamat Politik & Manager Program SMRC
Saya mengikuti debat terakhir pemilihan gubernur Jakarta semalam, 17 November 2024, dari studio 2 TVRI. Saya diminta TVRI menemani Suryono Herlambang, peneliti Centropolis dan pengajar Untar, dan Monica Kumalasari, pakar gestur dan mikroekspresi, untuk membahas seputar substansi dan jalannya debat.
Penjelasan Monica Kumalasari mencuri perhatian saya. Dalam debat ini, menurut pengamatannya, Ridwan Kamil menunjukkan ekspresi anger (marah) yang kemudian disusul dengan ekspresi fear (takut). Sementara Pramono Anung lebih menunjukkan ekspresi superior. Ada pun Dharma Pongrekun, dia lebih banyak menunjukkan ekspresi netral atau nothing to lose. Kesimpulan ini diambil dari pengamatan pada mikroekspresi yang ditunjukkan melalui pergerakan otot-otot wajah para calon.
Di sela-sela acara, saya bertanya apakah mungkin orang bisa menyembunyikan ekspresinya atau menunjukkan ekspresi palsu? Dia jawab tidak bisa, karena mikroekspresi justru menunjukkan sesuatu di balik yang terlihat atau coba diperlihatkan.
Saya sama sekali kosong pengetahuan tentang ilmu mikroekspresi ini. Namun yang menarik adalah bahwa kesimpulan Monica Kumalasari mirip dengan apa yang saya amati sepanjang debat. Ridwan Kamil sejak awal melancarkan kritik yang mendasar soal Jakarta. Dalam setiap kesempatan bicara, dia selalu mengulang frase “ketidakadilan,” terutama ketidakadilan tata ruang.
Menurut dia, segala persoalan di Jakarta disebabkan oleh ketidakadilan. Dia bahkan menyebut di Jakarta terdapat politik segregasi. Ini, menurut saya, adalah serangan yang sangat mendasar pada Jakarta dan pemerintahannya.
Dia kemudian menyebut soal kekumuhan ekstrim di Jakarta. Karena itu, dia ingin membuat perubahan, antara lain dengan memperbanyak pemukiman di tengah kota dan memperbanyak perkantoran di pinggiran kota. Dia bahkan ingin memindahkan balaikota (kantor gubernur) dari Jakarta Pusat ke Jakarta Utara.
Pada pokoknya, menurut Ridwan Kamil, Jakarta ini salah urus, karena itu perlu ada perubahan. Mungkin pandangan itu yang menyebabkan Ridwan Kamil mengusung slogan Jakarta Baru Jakarta Maju. Pesannya adalah selama ini Jakarta tidak maju karena itu perlu pembaruan agar menjadi maju. Menurut Monica, ekspresi anger bisa dimaknai bahwa ada keinginan yang sangat kuat tapi tidak terwujud. Marah melihat keadaan.
Pertanyaan saya adalah apakah Ridwan Kamil sedang marah pada Anies Baswedan yang merupakan pemimpin Jakarta sebelumnya? Apakah dia sedang ingin menyatakan bahwa gubernur Jakarta sebelumnya tidak bekerja baik sehingga Jakarta masih didominasi ketidakadilan? Apakah kemarahan ini ada sejak awal atau baru muncul dan semakin membesar ketika Anies lebih eksplisit menunjukkan keberpihakan pada Pramono – Rano?
Jika dirunut kembali proses pencalonan gubernur Jakarta, Ridwan Kamil sebenarnya diusung salah satunya adalah untuk menghadapi atau mengalahkan Anies jika dia maju di Jakarta. Antagonisme dengan Anies sebetulnya tidak muncul setelah Anies menerima Pramono dan Rano bertandang ke rumahnya beberapa waktu lalu, tapi memang sejak awal Ridwan dan Anies memang berada pada kubu politik yang berseberangan.
Slogan Jakarta Baru yang secara langsung mendelegitimasi warisan pembangunan Jakarta di masa Anies mengkonfirmasi itu.