Ia itu tidak pernah lahir dari kemewahan dan kemegahan. Ketika dalam masih kandungan, Kaisar Augustus, penguasa Roma yang ketika itu menjajah tanah Palestina, mengumumkan pencacahan jiwa. Ia mengharuskan semua orang untuk pergi ke tanah kelahirannya dan mendaftar sebagai penduduk.
Cacah jiwa (sensus) diperlukan untuk mengetahui banyaknya penduduk — yang akan membayar pajak, dipaksa menjadi tentara, dan berbagai kerja rodi.
Karena kewajiban itulah, Yusuf, suami Maryam, ibunda Isa, harus pergi ke kota Bethlehem. Yusuf berasal dari kota itu. Pria miskin yang berprofesi sebagai tukang kayu itu masih keturunan Nabi Daud, seoarang raja besar Israil.
Perjalanan dari Nasareth ke Bethlehem cukup jauh. Pada saat Isa dilahirkan jaraknya sekitar 145 kilometer. Mereka harus berjalan berombongan dengan kendaraan seekor keledai. Lalu lintas ramai karena semua orang bepergian ke kotanya masing-masing.
Sampai di Bethlehem, Yusuf harus mencari penginapan. Semua penuh. Kalau pun ada, penghasilan sebagai tukang kayu jelas tidak mampu membayar beaya hotelnya. Disamping itu, Maryam, istrinya sedang hamil tua dan hendak melahirkan.
Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk bermalam di kandang hewan. Maryam melahirkan di tempat itu. Ada sebuah palungan tempat makan hewan. Setelah diisi jerami dan dialasi kain lampin, disanalah bayi itu diletakkan.
Bayi itu adalah bayi pengungsian. Ia lahir dari kemiskinan dan penderitaan.
Natal ini membawa saya pada para pengungsi. Mereka yang tergusur di tanah Palestina, tanah kelahiran Isa. Mereka yang terpaksa lari ke hutan-hutan akibat kekerasan di Papua: di Pegunungan Bintang, Nduga, Maybrat, Teluk Bintuni, Sorong dan di berbagai tempat lainnya.
Ia lahir bersama mereka yang menderita karena konflik dan ketidakadilan.
Selamat merayakan Natal!
Made Supriatma