Sabtu, Desember 21, 2024

Egoisme dalam beragama

Must read

Oleh Maulana M. Syuhada

Sebanyak 80% dari total 8.652 kasus positif Covid-19 yang terjadi di Korea Selatan bersumber hanya dari satu orang, ibu-ibu (61 tahun) yang menunjukkan gejala Covid-19 namun ketika diminta memeriksakan dirinya ke dokter malah “ngeyel” dan pergi beribadah ke gereja. Jadilah gereja Shincheonenji di kota Daegu menjadi pusat penyebaran virus.

Kasus Covid-19 pertama kali terkonfirmasi di Korea Selatan pada 20 Januari 2020 ketika seorang warga China (35 tahun) yang baru terbang dari Wuhan diisolasi di bandara Incheon, Korea Selatan. Korsel mampu menangani penyebaran wabah ini dengan baik. Dalam 4 minggu hanya 30 orang yang terinfeksi.

Tapi ini semua berubah drastis ketika ditemukan pasien No. 31, si ibu yang “ngeyel” tadi. Ibu tersebut bertanggung-jawab terhadap 6.000 orang lebih yang terinfeksi di Korea Selatan alias 80% dari kasus di negara tersebut. Satu negara dibuat repot hanya karena perilaku “ngeyel” dari seorang warganya.

Di Malaysia, tabligh akbar yang diselenggarakan oleh Jamaah Tabligh di Masjid Sri Petaling Kuala Lumpur pada 28 Februari hingga 1 Maret menjadi sumber penularan virus Corona. Hampir 2/3 dari total 673 kasus Covid-19 di Malaysia terkoneksi dengan acara tabligh akbar tersebut.

Celakanya, dari total 16 ribu jamaah yang hadir dalam tabligh akbar tersebut, 1.500 di antaranya berasal dari luar Malaysia, termasuk 700 orang dari Indonesia, 200 orang dari Filipina dan 95 orang dari Singapura. Malaysia pun menjadi hot spot penyebaran virus Corona di Asia tenggara.

Perlu waktu lebih dari satu minggu hingga gejala infeksi virus mulai terlihat. Tanggal 9 Maret, Brunei mengumumkan kasus Covid-19 pertama di negara tersebut, seorang jamaah (53 tahun) yang ternyata mengikuti tabligh akbar di Malaysia. Satu minggu kemudian kasus Covid-19 di Brunei melonjak menjadi 50 orang, dimana 45 orang di antaranya adalah peserta tabligh akbar di Malaysia. Ada 12 orang WNI yang terinfeksi Covid-19 di Malaysia, dan semuanya adalah peserta tabligh akbar.

Pada 17 Maret 2020, warga Malaysia (34 tahun) peserta tabligh akbar meninggal dunia, satu dari hanya dua kasus kematian di Malaysia, pemerintah Malaysia pun mengumumkan lockdown. Per hari ini, sudah 1.030 penduduk Malaysia yang positif Covid-19, tertinggi di Asia Tenggara.

Tidak sampai tiga minggu kemudian, jamaah tabligh yang sama kembali melakukan acara, Ijtima Dunia Zona Asia 2020, di kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Rabu, 18 Maret 2020, panitia mengkonfirmasi sudah 8.694 jamaah yang hadir, termasuk 411 orang warga negara asing (WNA) dari 9 negara. Setelah koordinasi yang alot antara pemerintah dan panitia, akhirnya acara dibatalkan. Pemprov Sulawesi Selatan mengisolasi 411 WNA, sementara 8.000 peserta lainnya secara bertahap pulang ke daerahnya masing-masing.

Di Kabupaten Manggarai, NTT, pentasbihan Uskup Ruteng Mgr Siprianus Hormat tetap digelar walaupun sudah dihimbau untuk ditunda. Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo melalui Kepala BNPB menyampaikan permintaan ini kepada Keuskupan Ruteng dan Bupati Ruteng. Namun acara tetap digelar dengan alasan sudah terjadwal beberapa bulan lalu.

Kamis, 19 Maret 2020, sekitar 6.000 umat Katolik menghadiri misa besar ini termasuk 37 uskup dari seluruh Indonesia dan pejabat Kongres Wali Gereja Indonesia (KWI).

Tadinya saya berpikir, selevel uskup yang sangat paham agama, akan berbesar hati dan menunda acara pentasbihan ini. Ia akan tampil ke muka dan berkata, “Walaupun sudah berbulan-bulan kami persiapkan semuanya, namun demi kemanusiaan kami akan tunda acara ini!”

Bukankan kita beragama agar dapat memanusiakan manusia. Namun saya salah. Acara ritual ternyata lebih penting daripada kemanusiaan. Ajaran cinta kasih pada sesama manusia yang selama ini didengung-dengungkan hanya sebatas retorika di atas mimbar.

Di halaman Masjid Agung Bandung, sekelompok orang mencopot dan menurunkan baligo yang berisi maklumat bahwa untuk sementara waktu DKM tidak menyelenggarakan sholat Jumat dan sholat wajib berjamaah. “Turunkan saja, DKM jangan takut enggak digaji, jangan takut sama Ridwan Kamil. Takut ke Gusti Allah,” tutur salah seorang peserta aksi. Padahal Majelis Ulama Indonesia (MUI), NU dan Muhammadiyah, sudah mengeluarkan fatwa agar sholat jamaah diadakan di rumah, dan sholat Jumat diganti dengan shalat dhuhur.

Tidaklah mengherankan jika sebagian masyarakat masih ngeyel dan tetap datang ke masjid, karena sekelas mantan Pangab, Jenderal (pur) Gatot Nurmantyo, justru menggaungkan gerakan memakmurkan masjid dan salat berjemaah di tengah wabah virus Corona.

“Sepertinya ada yang keliru? Di negeri asalnya covid-19-cina, yg penganut paham komunis dan sebagian besar tdk beragama beramai-ramai mendatangi masjid dan belajar berwudhu hingga mengikuti sholat berjamaah,” tulis Gatot. Namun, lanjutnya, di negeri mayoritas muslim justru sebaliknya, malah ramai-ramai menggaungkan fobia terhadap masjid. Ini seakan-akan masjid sebagai sumber penularan COVID-19. Lantas, menurutnya, apakah mal, gereja, vihara, kelenteng, hingga lift sarana umum lebih aman daripada masjid?

Hal senada juga diungkapkan oleh Pendeta Dr. Yakub Nahuway dalam sebuah kebaktian, “Sekarang gereja melarikan diri dari kenyataan dan tidak menjadi sahabat. Beberapa gereja besar di Jakarta meliburkan jemaah hanya karena virus Corona. Mereka menampakkan diri bahwa Tuhan kalah dengan virus … Hidup kita bukan di tangan virus. Virus punya mata. Sasaran dia hanyalah orang-orang yang jauh dari Tuhan. Orang yang dekat dengan Tuhan dilindungi di bawah kepak-Nya!”

Ustad Abdul Somad (UAS) dalam salah satu ceramahnya, berkata bahwa Corona adalah tentara Allah, dan orang Uyghur tidak terkena virus ini karena mereka berwudhu.

“Macam-macam tentara Allah datang. Adapula tentara yang terakhir ini bernama Corona. Orang yang berada di Uyghur, tak terkena virus ini. Banyak orang terheran-heran. Apa sebab? Salah satu sebabnya karena mereka berwudhu. Setiap hari mereka membasuh tangan. Virus tidak akan terkena kepada orang yang selalu menjaga kesucian,” ujar UAS.

Padahal kita semua tahu bahwa banyak saudara kita yang muslim di berbagai negara, termasuk suku Uyghur di Xinjiang, dan mereka yang suka berwudhu, menjadi korban keganasan virus Corona. Inilah yang terjadi jika pemuka agama, baik ustad maupun pendeta, berceramah namun tanpa ilmu pengetahuan.

Dalam salah satu video, di hadapan puluhan jamaah tabligh, seorang penceramah berkata, “Baru satu macam virus Corona datang, seluruh dunia geger. Gampang itu selesaikan Corona, kirim jamaah ke tempat Corona. Virus Corona takut sama jamaah. Jamaah hanya takut kepada Allah SWT. Jamaah tidak takut dengan Corona!”

Semua pun tahu, dua kematian pertama di Malaysia, salah satunya adalah jamaah yang menghadiri tabligh akbar (Ijtima Jamaah Tabligh) yang telah menginfeksi 2/3 dari negara tersebut.

Mungkin inilah yang disebut dengan egoisme dalam beragama, melakukan ibadah tanpa peduli dengan keselamatan manusia lainnya. Sama halnya dengan ibu-ibu di kota Daego Korsel di awal artikel, ia datang ke gereja untuk beribadah. Ia merasa sedang berbuat kebaikan, namun nyatanya ia sedang menciptakan madharat untuk 6 ribu orang, menjadi malapetaka untuk negaranya.

Begitu pula halnya dengan para peserta tabligh akbar di Malaysia, peserta ijtima di Gowa, Sulsel, ataupun para uskup yang menggelar pentasbihan di NTT. Mereka tidak peduli dengan kepentingan masyarakat banyak. Sangat ironis memang, jika beragama malah jadi menjauhkan kita dari kemanusiaan.

Masa inkubasi virus adalah 14 hari. Dan selama itu orang yang membawa virus (carrier) bisa tampak sehat, normal seperti orang sehat pada umumnya. Supaya orang-orang sehat yang membawa virus ini tidak menularkan lebih jauh ke orang lain, maka pemerintah mengambil kebijakan “social distancing” agar kita tidak berkumpul di kerumunan, di sekolah, di kampus, di kafe, di mal, dan termasuk di masjid, karena ia bisa jadi pusat penularan.

Itulah mengapa sekolah dan kampus diliburkan, para pekerja dihimbau untuk bekerja di rumah, dan pergerakan di luar rumah diminimalisir sekecil mungkin.

Bayangkan jika ada satu orang saja jamaah yang tampak sehat tapi pembawa virus (carrier) kemudian dia shalat di masjid. Kemudian dia menularkan kepada 10 orang di masjid tersebut. Sepuluh orang yang tertular tidak akan tahu dia tertular sampai dua minggu ke depan (karena perlu 14 hari untuk inkubasi virus).

Gambar oleh OranFire Blade dari Pixabay

Kesepuluh orang ini pulang ke rumahnya masing-masing, dan mereka akan menularkannya kepada keluarganya, kepada isteri dan anak-anaknya, kepada setiap rekan kerja di kantornya. Rekan kerjanya di kantor akan membawa pulang kepada keluarganya, isteri dan anak-anaknya, juga kepada setiap orang yang ia temui dari tempat kerja ke rumahnya, di setiap tombol lift yang ia pencet, di handel pintu yang ia buka, di tiang KRL yang ia pegang, dan sebagainya. Begitulah efek berantai dari penyebaran virus tadi. Dari 1 orang, dapat menyebar ke 10 orang, kemudian ke 100 orang, kemudian ke 1.000 orang, dan seterusnya.

Itulah mengapa setelah tabligh akbar di Malaysia semua orang merasa sehat. Baru dua minggu kemudian terkuak bahwa ratusan dari mereka terinfeksi Covid-19.

Bupati Bogor mengkonfirmasi bahwa seorang ibu (67 tahun) yang meninggal hari Rabu kemarin tertular dari anaknya yang masih muda (35 tahun). Anaknya ini tertular dari pasien no.1 asal kota Depok. Keberadaan Covid-19 ini tidak diketahui sampai 3 minggu kemudian. Kontak pertama sang anak dengan pasien no. 1 tanggal 25 Februari.

Ia sempat demam, namun tiga hari kemudian sembuh. Tanggal 28 Februari ia tetap masuk kerja dengan menggunakan transportasi umum, ojol, KRL, MRT dan Transjakarta. Pada 7 Maret 2020 yang bersangkutan mulai merasakan napas berat lalu diperiksa darah oleh RS Persahabatan. Selanjutnya, pada 14 Maret 2020 dilakukan pemeriksaan kembali, lalu pada 16 Maret 2020 yang bersangkutan mengeluh sakit sendi.

Adapun ibunya, pada 27 Februari mengikuti sebuah seminar di Jakarta. Esoknya ia terkena diare dan tanggal 29 Februari, yang bersangkutan periksa ke dokter di Jakarta. Kemudian minum obat selama 4 hari tapi belum sembuh. Kontrol lagi, minta dirawat ke rumah sakit, saat itu didiagnosa typhoid. Lalu pada 10 Maret 2020, yang bersangkutan dirawat di rumah sakit. Setelah diuji lab dan rontgen paru, ada infeksi baru dengan diagnosa pneumonia. Tanggal 14 Maret sang ibu dites, dan tanggal 16 Maret keluar hasilnya positif Covid-19. Dua hari kemudian sang Ibu meninggal dunia.

Kita yang muda dan sehat, bisa jadi sembuh setelah terinfeksi Corona. Namun mereka yang sudah lanjut usia dan memiliki riwayat sakit beragam akan sangat rentan terhadap virus ini. Menghindari kerumunan bukan berarti hanya menjaga diri kita dari virus, tapi menjaga orang tua kita, menjaga orang tua-orang tua dari teman-teman kita, tetangga-tetangga kita, dan seterusnya.

Di Iran setiap 10 menit satu orang meninggal dunia karena virus Corona. Total yang meninggal di Iran sudah mencapai 1.556 dari 20.610 yang terfinfeksi. Di Italia, dalam 24 jam terakhir 627 orang meninggal dunia karena Corona, menaikkan jumlah yang meninggal di Italia ke angka 4.032 orang dari total 47.021 orang yang positif.

Sebaliknya di China, sedikit demi sedikit kehidupan berangsur normal. Selama tiga hari berturut-turut tidak ada penambahan kasus baru Covid-19 di China secara internal. 41 kasus yang terjadi dalam 24 jam berasal dari mereka yang kembali bepergian dari luar China. China mulai mengalihkan fokus bantuannya ke luar negaranya.

Dalam beberapa minggu terakhir China sudah mendonasikan testing kit kepada Kamboja, mengirimkan berkapal-kapal ventilator, masker dan tenaga medis ke Italia dan Perancis, dan berjanji akan membantu Filipina, Spanyol dan negara-negara lainnya, juga memberangkatkan tenaga medisnya ke Iran dan Iraq.

Presiden Serbia, Aleksandar Vucic, dalam siaran TV-nya ketika mengumumkan keadaan darurat di negerinya berkata, “European solidarity does not exist. That was a fairy tale on paper. I believe in my brother and friend Xi Jinping, and I believe in Chinese help.”

Di Indonesia, sudah 450 kasus terkonfirmasi dengan jumlah kematian sebesar 38 orang. Hasil studi teman-teman di jurusan Matematika FMIPA ITB, menunjukkan bahwa profil epidemi di Korea Selatan adalah yang paling mirip dengan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain.

Hasil simulasi berdasarkan kurva Richard, puncak epidemi di Indonesia diproyeksikan akan terjadi pada akhir Maret dan berakhir pada pertengahan April, dengan jumlah kasus lebih dari 8.000. Yang perlu digaris bawahi dari hasil ini adalah, profil hasil diatas diperoleh dengan menggunakan parameter model hasil estimasi dari Korea Selatan. Hasil di atas harus dibaca dengan memahami parameter dan asumsi yang digunakan di paper tersebut.

Korea Selatan menerapkan strategi tes massal dengan jumlah tes mencapai 20.000 orang per-hari. Dengan dilakukannya tes masal, otoritas kesehatan Korsel bisa mendapatkan informasi yang cepat dan melakukan pelacakan secara agresif terhadap orang yang diduga terpapar. Korsel berhasil mengatasi epidemi virus Corona dengan angka kematian hanya 1%, 102 meninggal dari total 8.799 kasus per 21 Maret 2020.

Pemerintah Indonesia sudah memutuskan menerapkan “social distancing” dan tes massal. Tugas kita adalah bersatu, bersama-sama mensukseskan penerapan kebijakan ini. Para tenaga medis tanpa lelah berjuang di garda terdepan, mempertaruhkan jiwa mereka, menangani para pasien.

Hingga kemarin sudah 25 tenaga medis terinfeksi Covid-19 dan satu orang meninggal dunia. Hal paling sederhana yang bisa kita lakukan untuk membantu perjuangan mereka adalah dengan belajar, bekerja dan beribadah di rumah, menghindari kerumunan dan menjaga jarak, menjaga kesehatan dan kebersihan, serta mebiasakan diri mencuci tangan.

Mereka yang tetap berkumpul di tempat publik seperti berkumpul di masjid, di gereja, di wihara, di pura, nongkrong di warung, di cafe, di mal, dan sebagainya, sungguh mereka sangatlah egois, mereka tidak peduli dengan keselamatan orang lain. Yang kita perlukan sekarang adalah kebersamaan dan solidaritas.

Mari kita maksimalkan ikhtiyar seraya terus menyelipkan doa-doa di antara shalat-shalat dan ibadah kita, dan bertawakkal kepada-Nya. Jika kita disiplin dan kompak, bersatu, bersama-sama mencegah meluasnya penyebaran virus ini, insya Allah kita akan bisa berhasil mengatasi epidemi ini.

PS: Terima kasih kepada sahabatku, Sofyana Ali Bindiar, yang sudah memberikan inspirasi ide terhadap judul artikel.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article