Jumat, Maret 29, 2024

Achieving Personal Mastery

Must read

Presiden kebal hukum?

#SeninCoaching

#Leadership Growth: Achieving Personal Mastery

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

 “Masakatsu agatsu katsuhayabi, “True victory, final victory over oneself, here and now.”– Morihei Ueshiba.

Di lingkungan seni bela diri Aikido dikenal pernyataan “serangan lawan adalah hadiah energi.” Dengan mindset yang tepat, sikap batin yang pas, serta keseimbangan diri, seseorang dapat mengelola energi melumpuhkan serangan tanpa melukai penyerang.

Perilaku kepemimpinan demikian, jika konsisten dikerjakan, dapat melatih kita mampu mengolah energi dari luar diri kita menjadi bagian dari harmoni baru – inilah cara hidup (jalan) untuk meraih kemenangan yang indah. Aikido, 合気道 – orang Beijing membacanya He Qi Dao – diartikan sebagai “the way of unifying (with) life energy”.

Di dunia ini selain banyak yang membuat kita bungah, ada saja hal-hal yang tidak kita sukai, membuat kita tidak nyaman, yang sering kita anggap “musuh”. Sesungguhnya semua itu adalah bagian dari energi hidup yang sepatutnya mampu kita “tundukkan” dengan aman.

Kata Morihei Ueshiba, perintis aikido, selama ini telah terjadi pemahaman keliru tentang be a warrior. “It is not a means to kill and destroy others. To smash, injure, or destroy is the worst thing a human being can do.” Prinsip aikido adalah melindungi lawan yang sudah dapat kita kendalikan agar tidak mengalami cidera.

Kalangan eksekutif dan meyakini diri mereka sebagai leader di organisasi, apalagi yang sempat membangun prestasi, sering menempatkan diri sebagai para petarung. Ingin menang di semua lini, kadang tanpa peduli etika. Saat pindah posisi, atau naik jabatan, lazimnya dengan semangat ingin “menaklukkan wilayah” tanggung jawab baru mereka. Di sini, sebagaimana dapat kita lihat fakta-fakta di sekitar kita, mereka menghadapi masalah serius, hampir tiap meeting marah-marah, bahkan ada yang terjungkal, kehilangan jabatan.

Survei yang disponsori Accenture terhadap ratusan eksekutif dari pelbagai level di 200 organisasi multinasional di enam benua antara lain menyimpulkan, agar dapat memimpin lebih baik lagi di Abad 21, para eksekutif wajib terus mengembangkan diri, mengasah 15 kompetensi, satu di antaranya adalah Achieving Personal Mastery. Kompetensi ini yang kelihatannya belum lazim diberlakukan di banyak organisasi.

Masih dapat kita temui cara pandang dan sikap pemegang saham, pelaku usaha, pengelola organisasi, yang tetap berpijak pada perspektif masa Revolusi Industri, membentuk organisasi sangat hirarkis, integrasi vertikal, dan bos demikian berjarak dengan para stakeholder. Pola pikir ini yang menyebabkan para eksekutif saat menerima jabatan baru cenderung ingin “menaklukkan wilayah kekuasaan”, membangun tim eksklusif yang selalu mengiyakannya, meminggirkan orang-orang yang berbeda pandangan.

Kalaupun eksekutif semacam itu merasa sudah jadi petarung hebat, a warrior, karena dulunya pernah sukses, perilakunya di organisasi/jabatan baru membuatnya terjebak pada ilusi sukses masa lalu. Sementara tantangan hari ini sudah sangat berubah.

Untuk mendaki atau meraih personal mastery perlu menanggalkan masa lalu – bahkan rasa sukses yang sudah lewat bisa jadi beban untuk naik ke tingkat keberhasilan berikutnya. Ini ternyata bagi sebagian orang tidak mudah. Berat. Tapi ingat, “If leaders are unable to slough off yesterday, to abandon yesterday, they simply will not be able to create tomorrow,” kata Peter Drucker (The Effective Executive, Managing in Turbulent Times).

Mau pilih mana, terus ngeloni masa lalu, nyaman, tapi tidak menghasilkan apa-apa kecuali kerja normatif saja atau sungguh-sungguh melaksanakan perubahan agar lebih siap mengatasi tantangan hari ini dan membangun hari esok?

Diperlukan emotional courage, ketegaran, menghadapi realitas, menyikapi dengan lebih mantap perbedaan-perbedaan cara pandang yang muncul dari tim, kolega, pemasok, dan pelanggan (atau publik, bagi pemimpin jawatan pemerintah).

Dalam praktek, untuk meraih personal mastery dan menjadi eksekutif efektif diperlukan juga kemampuan dalam ego management. Bukankah orang-orang sukses cenderung menggelembungkan ego?

Ini yang mendorong para eksekutif kelas dunia yang berhasil menghadapi tantangan zaman, satu di antaranya Presiden Bank Dunia ke-12 (2012 – 2019) Dr. Jim Yong Kim, merasa perlu didampingi coach. Padahal sebelumnya, antara lain saat sebagai Direktur WHO bidang HIV/AIDS, prestasinya luar biasa. Ia memimpin gerakan pengobatan tiga juta pasien HIV/AIDS di negara-negara berkembang, menggunakan obat antiretroviral. Dr. Jim di kemudian hari mengakui merasa banyak lebih baik dengan didampingi coach (Marshall Goldsmith).

Sikap rendah hati, bersedia menerima pendapat berbeda sebagai gift of energy untuk kita rangkul menjadi harmoni baru, sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan sekarang. Ini berlaku bagi semua level eksekutif di pelbagai organisasi, bisnis, nonprofit, dan institusi pemerintahan. Karena tim, kolega, customers (atau publik), dan para stakeholder lainnya bukanlah orang-orang atau wilayah untuk kita taklukkan. Tapi mereka, dengan pelbagai perbedaan yang mereka ungkapkan, adalah sumber energi, sebagai anugerah agar kita terus tumbuh. Mereka itu mitra akuntabilitas kita. Ego kita yang perlu kita kelola.

Mohamad Cholid adalah

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article