Selasa, April 23, 2024

Anda yakin masih tetap relevan hidup hari ini?

Must read

#SeninCoaching:

#Lead for Good: Beware of becoming a used to be …  

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Every day we are inventing ourselves and the legacy, if you don’t you just become ‘used to be’…” – Marshall Goldsmith.

Ahad kemaren dalam sehari ada kabar kematian tiga orang, kebetulan sesama aktivis pengembangan komunitas. Ketiganya tinggal dalam kawasan perumahan sama dengan kami, kendati berlainan cluster. Dua pekan sebelumnya dua sepupu saya, kakak beradik, juga wafat akibat covid, berurutan dalam waktu kurang dari 24 jam. Kita semua hari-hari ini seperti tidak bisa mengelak dari kabar duka tentang orang dekat yang kita sayangi dan hormati, atau yang kita kenal baik, di samping rentetan berita kematian korban covid lainnya di media, dari tempat-tempat berbeda.

Kematian bertubi-tubi, utamanya akibat wabah, yang berpuluh, beratus, beribu, dan sekian juta kali terjadi dalam kurun waktu tertentu di Bumi ini – termasuk ketika pandemi Spanish flu memagut dunia 1918 – 1919 dan menyebabkan kamatian sekian puluh juta orang – bagi keperluan statistik mungkin merupakan “peristiwa demografik” belaka.

Kalangan ahli kesehatan masyarakat tentunya melihat semua itu dalam dimensi yang lebih kompleks. Para pedagang obat dan birokrat politik melihatnya sebagai peluang. Bagi orang beragama, “demographic event” dampak covid dan Spanish flu bisa dimaknai sebagai hak prerogratif Tuhan dalam menentukan cara berdialog dengan umat manusia – tugas para ulama, ustadz, guru spiritual adalah menafsirkannya dengan memuliakan kepentingan umat manusia; bukan sesuai ego (kelompok) sendiri.

Sedangkan para konsumen teori konspirasi, cenderung menjadikan pandemi sebagai panggung untuk menampilkan narasi (dan fiksi) mereka.

Apa pun cara pandang masing-masing dalam menafsirkan “demographic event” tersebut, satu hal yang tidak dapat kita dustakan adalah bahwa kematian memberangkatkan seseorang dari eksistensinya terakhir menjadi “a person that used to be”. Di dunia ini dulu ia ada.

Dalam imajinasi agung bernama kehidupan, di lingkungan organisasi bisnis, nonprofit, institusi pemerintahan, bahkan termasuk di dunia pendidikan, kenyataannya masih selalu dapat kita temui orang-orang yang membiarkan diri mereka menjadi “a person that used to be”. Orang-orang yang memasang jangkar dalam satu titik sukses yang membanggakan sebagai pemberhentian. Senang disebut “yang pernah berhasil di ….” atau “yang dulu dikenal sebagai …”.

Kalau sibuk memperlihatkan diri dulu seperti apa, kapan bisa mengerahkan pikiran dan energi untuk urusan sekarang? Apakah sosok yang hari ini fisiknya terlihat di cermin, ternyata hanya sebuah bingkai untuk potret diri yang dulu? Lantas, sekarang sebenarnya masih mau hidup dan terus menemukan diri, self-inventing, setiap hari atau mau eksis fisiknya saja dengan isi – ruh, batin, pola pikir – as used to be?

Tampil sebagai “a person that used to be…”  akan menyebabkan siapa pun menjadi tidak relevan lagi dengan realitas hari ini. Ibarat sudah wafat dalam keadaan fisik masih hidup. Management Guru Peter Drucker mengatakan, siapa saja yang tidak selalu memperbaharui diri akan obsolete seperti dinosaurus.

Bagaimana mengatasi kebuntuan tersebut? 

Di dunia ini dalam sejumlah hal kita adalah co-creator yang sepatutnya selalu memantaskan diri mampu bermitra dengan realitas dalam menjemput kenyataan esok hari yang kita upayakan lebih baik. Realitas yang kita hadapi kadang tidak menyenangkan, bahkan bisa demikian pahit. Untuk mampu mendefinisikannya dengan pas, hadapi saja realitas apa adanya – tanpa beban stigma, stereotyping, dan bias lainnya.

Rasanya sangat perlu selalu mengingatkan diri siap memulai hal-hal baru. Secara konstan memberikan tantangan kepada diri sendiri dengan pemikiran-pemikiran baru, perspektif berbeda.

Barangkali kita bisa menerapkan Life Plan Review (LPR), pendekatan yang telah dipraktikan oleh Alan Mulally memimpin Boeing mengatasi krisis bisnis penerbangan dampak peristiwa 9/11 dan memulihkan Ford Motor Company yang nyaris bangkrut, merugi belasan milyar dolar AS, menjadi profitable – dengan tim yang sama dan tanpa bantuan dana pemerintah.

Garis besar LPR begini: hidup hanya sekali, selayaknya kita perlu menyeimbangkan secara dinamis antara kebutuhan kerja, keluarga, spiritualitas (terus memperbaiki komunikasi dengan Tuhan), perduli pada komunitas, dan personal life. Melakukan review secara berkesinambungan atas keseimbangan lima unsur tersebut memerlukan keberanian, kerendahan hati, disiplin, energi, dan fokus.

Mulai saja dengan menanyakan pada diri sendiri, setiap hari, “Did I do my best to find meaning, menemukan makna hidup? Apa upaya terbaik yang aku lakukan untuk menyeimbangkan kelima unsur tersebut?” Bisa disusul dengan selalu cek ulang, “Upaya terbaik apa yang aku lakukan, did I do my best to…, agar menjadi lebih engaged dengan pekerjaan, lebih aligned dengan tujuan-tujuan organisasi,” dan seterusnya.

Every day we are inventing ourselves and the legacy, if you don’t you just become ‘used to be’…” kata Marshall Goldsmith, salah seorang thought leader terkemuka di dunia.

Mohamad Cholid is Member of Global Coach Group (www.globalcoachgroup.com) & Head Coach at Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment (GLA 360)
  • Certified Global Coach Group Coach & Leadership Assessment.

Alumnus The International Academy for Leadership, Germany.

Books: https://play.google.com/store/search?q=senincoaching&c=books

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article