Selasa, April 23, 2024

Arswendo, masuk sorga itu gampang!

Must read

Oleh Surnardian Wirodono

Paulus Sarwendo (26 November 1948 – 19 Juli 2019) adalah sang pengarang. Lewat mengaranglah, kita kenali ia sebagai Arswendo Atmowiloto. Pengubahan dari Sarwendo ke Arswendo, membuktikan kreativitasnya.

Tapi dengan ketentuan dan syarat berlaku tentu. Ketika menulis buku Mengarang itu Gampang, ia sangat serius membuktikannya. Setidaknya, setahu saya, buku itu ditulis di salah satu mesin ketik di antara 3 mesin ketik lainnya, yang masing-masing juga sedang berproses melahirkan kata-kata. Ia bisa mengarang berpindah-pindah di 4 mesin ketik yang ditata melingkar di ruang kerjanya.

Arswendo, sebagaimana Remy Sylado, pengarang yang bisa dalam waktu relatif bersamaan, menulis 3-4 karangan sekaligus. Karangan itu bukan hanya berupa cerpen, atau novel, tetapi juga kadang artikel untuk koran, majalah, juga puisi, atau karangan-karangan lain berupa refleksi. Salah satu puncaknya, best-seller novel ‘Senopati Pamungkas’ (1986 – 2003) yang belum tertandingi di Gramedia. Meski, saya juga menduga, karya ini lahir setelah Kompas memuat cerber Musashi karya Eiji Yoshikawa (1983).

Tribuns News

Mengapa saya lebih menyebut Mas Wendo sebagai pengarang? Karena sebutan itu tak lebih rendah dari sebutan penulis, jurnalis, wartawan, atau seniman dan budayawan, yang layak disandangnya. Sebutan pengarang, hanya untuk menunjukkan betapa piawai ia merangkai kata menjadi makna. Itu juga menunjukkan bagaimana produktivitasnya.

Di luar kerja rutinnya dunia jurnalistik (majalah, tabloid, koran), Arswendo bak pemain sirkus. Jumpalitan ke sana-kemari, dan indah. Serangkaian buah karangannya, sebagiannya menjadi legenda. Imung, Kiki, Keluarga Cemara, Senopati Pamungkas, juga karangan lain berupa HaiMonitor, adalah bukti-bukti itu, di samping serentetan skenario film layar lebar, seperti Pacar Ketinggalan Kereta dan Opera Jakarta.

Dari mana semua itu? Saya kira dari latar belakang keluarga. Ayahnya, Atmowiloto, seorang yang berkecimpung di media, Darmo Kondho (memang demikian namanya yang mulai terbit 1920. Kita perlu cek lagi soal ini, karena tahun 1913 terbit koran dengan nama Darmo Kandha, namun tahun 1969 ada pula Dharma Kandha) Solo.

Saya menduga, kemampuannya ‘mengarang’ Senopati Pamungkas, bisa jadi berawal dari dokumentasi bapaknya, Pak Atmowiloto. Itu pun bisa jadi sekiranya Pak Atmo menyimpan kitab-kitab lama. Sebagaimana di dunia komik, Jan Mintaraga, juga bisa mengarang komik silat berjudul Imperium MajapahitApi di Rimba Mentaok, dan lain-lain, yang tebalnya minta ampun. Saya baru ngeh ketika mewawancarainya dulu (1984), Jan mengatakan karena ayahnya adalah pegawai perpustakaan di Kraton Yogyakarta.

Karena itu, bagi Arswendo, mengarang itu gampang, sepanjang sesuai dengan syarat dan ketentuan berlaku. Apa saja syarat dan ketentuannya? Bukan sekadar bakat, melainkan bagaimana lingkungan mengasah. Ia diasah literasi oleh orangtuanya. Ia juga terdidik oleh penderitaan dan kemiskinan, sampai pernah jadi kuli pabrik mie bihun. Hingga kemudian pada pertengahan dekade 70-an, bersama kakaknya, Satmowi, naik sepeda motor goncengan dari Solo ke Jakarta, untuk ‘mengarang’ kesuksesan itu menjadi nyata.

Mas Wendo banyak menulis, apa saja, dengan berbagai nama samaran. Nama-nama samaran yang cem-macem, seenaknya, untuk sekadar mengatakan betapa semuanya tidak penting, kecuali honornya. Karena dengan itulah ia menghidupi anak dan isterinya. Arswendo benar-benar hanya hidup dari dan untuk mengarang. Mbak Agnes, isterinya, mengatasi segala sesuatu urusan anak dan rumah tangga. Sampai soal memberesi genteng bocor Mas Wendo nggak ngerti. Meski pun yatim-piatu sejak remaja itu, menurut majalah Tempo, kadang harus melolosi beberapa biji genteng rumah orangtuanya, dijual untuk membeli beras.

Fenomena lain Mas Wedo adalah Monitor. Dari sebuah majalah kehumasan TVRI, ia sulap menjadi tabloid yang menghebohkan, dari segi isi dan oplah. Tabloid yang bukan hanya diisi dengan acara televisi pada awalnya, melainkan juga berisi gosip artis. Dan hal itu belakangan menjadi tren (viral istilah sekarang). Bayangkan, Monitor hidup pada zaman belum ada televisi swasta. Tetapi ia bisa mengolah gosip artis menjadi berita panas, yang meledakkan oplah tabloid itu hingga mendekati 1 juta eksemplar, dengan foto cover-nya yang selalu lherrr!

“… Ia membayar beberapa artis papan atas (juga senior yang sering jadi tempat curcol artis debutan), menjadi informan!”

Mas Wendo menyampaikan rahasianya, bagaimana bisa mendapat gosip paling panas dari artis dengan cerita-cerita miringnya. Ia membayar beberapa artis papan atas (juga senior yang sering jadi tempat curcol artis debutan), menjadi informan! Bukan barang baru sih, mungkin Mas Wendo meniru Harmoko dalam menghidupkan koran Pos Kota. Yakni membayar polisi-polisi sektor di seantero Jakarta, yang ketika membuat BAP juga sekaligus mengirimkannya ke Pos Kota. Dan Pos Kota memberi honor untuk info itu.

Selepas dari Monitor, dan pernah mampir di bui 1990, Arswendo diambil konglomerat Sudwikatmono, berkantor di Petamburan. Di depan Mas Wendo, saya dan Rohi pernah mendebat optimismenya, yang hendak meluncurkan Tabloid Dangdut waktu itu. Saya bilang padanya, pandemen musik dangdut bukan pembaca media. Mereka penikmat musik, goyang pinggul dan susu. Tabloid Dangdut nggak sukses. Dan saya benar, dan Mas Wendo bayar kos-kosan saya di Slipi, untuk tiga bulan yang tertunggak.

Mas Wendo orang baik, kadang menjengkelkan meski dalam anekdotis. Pernah suatu ketika, ia dolan ke sebuah penerbitan koran. Sang redaktur rubrik budaya menyambutnya senang. Tapi katanya kemudian, “Mas, mana cerpen yang dijanjikan?”

Mas Wendo pernah utang (istilah kerennya kasbon), dengan janji menulis cerpen. Tapi seperti biasa, ia lupa. Padahal duit sudah tak ada bekasnya. Mungkin untuk bayar SPP anaknya, atau untuk memperbaiki rumah. Zaman dulu, kasbon dengan janji karya, hal biasa. Masih banyak media yang manusiawi dan baik budi. Nah, ditagih begitu, Mas Wendo bergaya garuk-garuk kepala, terus bilang, “Ya, kosik,…

Ia pinjam mesin tulis yang ada di meja sang redaktur. Ketak-ketik-ketuk, 15 menit kemudian sebuah cerpen kelar. Hahahahaha, tawa Mas Wendo pun pecah dengan khas. Dan utang pun lunas.

Mengarang itu gampang. Hidup itu gampang. Dan semoga Mas Wendo juga digampangkan, dilapangkan, dikeabadian Sang Maha Pengarang.

Sumber:

Dinding FB Sunardian Wirodono

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article