Kamis, April 18, 2024

Cacatan Kang Hasan tentang Ade Armando

Must read

Siksa Kubur

Interaksi terakhir saya dengan Ade Armando (AA) beberapa tahun yang lalu, di sebuah WAG para wartawan. Saya lupa nama WAG-nya, tapi ada banyak tokoh di situ, termasuk Eros Djarot. Dulu sempat aktif di situ, sehingga saya diajak kumpul-kumpul di rumah Eros tahun 2017.

Saya kemudian keluar karena saya memang tak pandai komunikasi di WAG yang cepat berubah kontennya. Selain itu banyak pula konten-konten sampah beredar di situ. Beberapa orang admin WAG itu memasukkan saya dengan harapan saya bisa ikut “mencerahkan”, entah apa maksudnya. Beberapa kali saya keluar, tapi dimasukkan lagi.

Komunikasi dalam bentuk diskusi sudah jauh sebelum itu. Dulu kami pernah berdiskusi di milis Jurnalisme, milis para wartawan. Dalam banyak hal, saya berbeda pendapat dengan Ade Armando. Perbedaan yang kemudian menjadi ajang caci maki.

Setahu saya Ade memang bukan orang yang mudah diajak diskusi.

Diskusi seru terjadi mungkin 10 tahun yang lalu, di milis Jurnalisme. Mulanya membahas soal kelakuan korup Rektor UI. Ada orang-orang kritis, di antaranya Ade dan Farid Gaban. Ada pembela Rektor UI, yaitu Akmal Naseri Basral. Rektor UI waktu itu adalah teman lama Ade, mereka seangkatan di Fisip UI. Posisi saya netral saja. Saya hanya ingin kesalahan Rektor UI itu dibuktikan secara hukum, bukan sekadar gosip.

Nah, cerita jadi makin panas ketika Akmal mengungkap fakta yang menurut dia berupa keculasan Ade. Yaitu soal proyek penulisan paper ilmiah di mana Ade sudah masuk tim, terima honor gede, tapi tidak kunjung menyetor paper yang diharapkan. Lalu Ade ngeles soal paper-paper yang menurut dia tidak perlu.

Diskusi kemudian bergeser ke sebuah tulisan Ben Anderson yang mengkritik akademisi yang sibuk membuat paper-paper tapi jauh dari masyarakat. Ade memakai pendapat itu untuk menganggap bahwa kewajiban menulis paper adalah bagian dari konspirasi global yang menjajah. Orang dipaksa tunduk pada standar kapitalis yang munafik melalui kewajiban menulis paper.

Saya waktu itu, meski sudah bukan akademisi, menolak pandangan itu. Menulis paper itu bagian penting dari tugas intelektual. Nah, di situ mulai panas. Ade melabeli para akademisi pembuat paper itu sebaga kacung global. Ia mengklaim, bahwa ia lebih memilih menulis kolom, yang menurut dia lebih tepat menjadi tugas intelektual, karena langsung menerangi masyarakat.

Mulanya saya sulit membantah pandangan itu, karena nama besar Ben Anderson. Berkali-kali saya uraikan pentingnya paper ilmiah, mereka membantahnya pakai nama nesar Ben. Menariknya ada yang memuat tulisan utuh Ben Anderson itu. Di bagian lain Ben justru juga mengkritik keras peran intelektual seperti yang dibanggakan Ade tadi.

Kata Ben, intelektual yang rutin mengisi media dengan kolom, akan jatuh pada pengulangan-pengulangan yang tidak menambah perbendaharaan pemikiran. Jadi, sebenarnya itu pun bukan pemikiran Ben.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article